Minggu, 23 Mei 2010

Eksistensi Fasilitator Komunitas Bangun Mandar

Tulisan ini termuat di koran Harian Pagi Radar Sulbar edisi Senin, 24 Mei 2010 dan juga bisa diakses di http://www.majenekab.go.id/


Tulisan ini terinspirasi oleh dua momen penting terkait tugas dan fungsi seorang fasilitator komunitas (Faskom) di wilayah dampingannya masing-masing. Pertama, hasil kunjungan kerja Bapak Gubernur ke Kabupaten Mamasa, kebetulan penulis ikut dalam salah satu rombongan menyusuri jalan dari arah Tabulahan ke Mamasa. Kedua, hasil uji petik Bapak Wakil Gubernur bersama asisten I dan asisten II pada 2 (dua) desa sasaran Bangun Mandar di Kabupaten Mamuju.

Perjalanan menyusuri berbagai rintangan alam dan beberapa fasilitas infrastruktur darurat di beberapa titik, memaksa kami melintasi kurang lebih 3 sungai kecil yang belum ada jembatannya dan jalan tanah yang masih sangat labil strukturnya. Perjalanan ini sangat menantang dan sayang kalau terlewatkan. Sepanjang perjalanan penulis senantiasa berpikir sedemikian menantangnya tugas seorang fasilitator yang harus menyusuri pelosok-pelosok kampung dengan fasilitas jalan yang sangat terbatas.

Kondisi itu tentunya juga ada di beberapa lokasi dampingan lainnya. Belum hilang dalam pikiran bayangan-bayangan tadi, tiba-tiba penulis melihat selintasan di kaca spion mobil yang kami kendarai, secara beriringan 4 (empat) Faskom sementara berjuang mengendalikan motor masing-masing dan bergumul dengan lumpur jalan manapaki jejak bekas ban mobil yang sudah relatif rata, ini sungguh luar biasa. Kebetulan arah tujuan kami sama dan sudah menjadi kesepakatan bersama supervisor kabupaten untuk memanfaatkan momen ini sebagai ajang konsolidasi internal tim.

Di kota Mamasa, bersama supervisor kabupaten, kami melakukan konsolidasi internal terkait capaian dan kendala lapangan. Terjelaskan oleh beberapa Faskom bahwa saat ini mereka sudah sampai pada tahapan siklus refleksi dan penyadaran kritis serta proses sosialisasi pemetaan potensi sumber daya, pengorganisasian masyarakat, dan norma-noram/aturan-aturan lokal yang ada di masyarakat.

Beberapa hal yang perlu terpahami oleh setiap pelaku dan masyarakat dampingan program Bangun Mandar adalah, bahwa tidak ada yang terlalu baru dari program ini dibandingkan program yang sudah ada dan sementara berjalan kecuali adanya upaya pemerintah memaksimalkan keterlibatan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan apa yang menjadi kebutuhan berdasarkan potensi dan masalah yang ada di masing-masing desanya.

Proses menemukenali kebutuhan ril, masalah, dan potensi itu tentunya membutuhkan proses fasilitasi berupa pengorganisasian masyarakat. Faskom dihadirkan oleh pemerintah dalam rangka mensinergikan semua potensi yang ada, baik itu potensi dari pemerintah maupun potensi yang ada dalam masyarakat. Tahun ini, pada masing-masing SKPD teralokasikan beberapa program yang menjadi stimulan terjadinya proses menemukenali organisasi masyarakat warga dan aturan-aturan yang memudahkan masyarakat mengakses program tersebut.

Aktivitas itu tidak dalam bentuk dana langsung melainkan dalam bentuk program. Secara kongkrit, Faskom hadir memfasilitasi tersampaikannya program SPKD yang ada tahun ini dan masyarakat termudahkan mengakses program dengan legitimasi lembaganya yang terpercaya.

Pada saat yang sama Faskom juga memfasilitasi proses perencanaan program versinya masyarakat, mulai dari tingkat dusun sampai ke tingakt desa. Keluaran dari proses perencanaan ini adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa). Dokumen RPJM ini pula yang akan menjadi acuan SKPD dalam mengalokasikan program kerjanya di lokasi sasaran Bangun Mandar tahun berikutnya. Harapan akhir dari semua fasilitasi itu adalah adanya sinergi kongkrit antara perencanaan dari pemerintah dan perencanaan dari masyarakat.

Agar semua harapan itu bisa terfasilitasi dengan baik, tidak hanya sekedar jargon pembangunan berlabel partisipatif yang pada kenyataannya proses fasilitasinya hanya sedang mengukir sebuah prasasti kegagalan yang akan dikenang oleh masyarakat Sulbar sepanjang masa, maka keberadaan seorang aktivis pemberdayaan handal yang dibungkus dengan istilah Faskom yang memiliki kapasitas, integritas, dan komitmen pemberdayaan sejati menjadi sebuah keharusan dalam program Bangun Mandar.

Faskom sebagai ujung tombak keberhasilan proses fasilitasi pelaksanaan siklus pemberdayaan di 66 desa/kelurahan sasaran tahun 2010 ini harus memiliki jiwa inovatif. Inovasi itu diperlukan mengingat tantangan lokasi dan sebaran warga yang sangat variatif.

Faskom handal adalah Faskom yang memaknai tugas ini sebagai panggilan jiwa. Bukan sekedar untuk mendapat imbalan finansial melainkan untuk menjalankan fungsi sosial kita sebagai hamba Allah (bermakna ibadah). Sehingga dengan cara pandang seperti itu menimbulkan motivasi yang tinggi untuk tidak sekedar menjadi fasilitator program yang menyelesaikan tugas dan membuat laporan tetapi menjadi bagian dari proses terjadinya perubahan ke arah kebaikan di masyarakat dampingan sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Meminjam ungkapan salah seorang warga di sebuah kampung yang sempat terkunjungi, kurang lebih seperti ini: “Lebih baik menjadi orang yang tidak dikenal tetapi berbuat sesuatu yang bermanfaat, daripada orang yang dikenal namun tidak berbuat apapun”.

Sebagai seorang agen perubahan sosial maka ada 3 (tiga) fungsi utama yang mutlak dimiliki oleh seorang Faskom. Pertama, fungsi fasilitasi. Faskom diamanahi tugas untuk membuat sesuatu berjalan dengan baik dilandasi kesadaran penuh. Kedua, fungsi mediasi, Faskom menjembatani beberapa pihak untuk dapat bekerjasama secara sinergis. Ketiga, fungsi advokasi, pada intinya mengajak masyarakat yang diadvokasi untuk berpikir seperti dia yang mengadvokasi.

Ketiga fungsi tersebut dalam prakteknya saling komplementer, misalnya pada saat mediasi juga akan terjadi proses fasilitasi ketika beberapa pihak bertemu dan advokasi ketika ada hal-hal yang masih perlu disepahamkan. Tentu saja kondisi di atas baru bisa fungsional ketika Faskom menetap dan berbaur bersama masyarakat secara total.

Ketika, Faskom hanya datang pada saat dibutuhkan saja atau sekedar ‘setor muka’ ketika akan ada laporan yang akan disampaikan ke supervisor atau ke kepala desa, maka yakinlah akan terjadi disfungsional dan lagi-lagi kita sedang berkontribusi merencanakan sebuah kegagalan dan kebocoran anggaran pembangunan.
Agar kegalalan perencanaan tersebut tidak sampai terjadi, maka kode etik fasilitator juga menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Faskom berperan strategis sebagai penggerak dan pendorong terjadinya proses transformasi sosial. Untuk itu, Faskom BM dituntut untuk menjunjung tinggi kode etik profesi sebagai berikut :

Pertama, berorientasi pada kepentingan dan tujuan program secara keseluruhan bukan pada kepentingan dan tujuan pribadi, kelompok atau golongan. Ini termaknai bahwa program ini tidak diperuntukkan bagi kepentingan perseorangan apalagi kepentingan politik tertentu. Program ini dirancang untuk senantiasa berpihak pada masyarakat miskin dan terpinggirkan. Oleh karena itu, Faskom benar-benar harus melayani masyarakat dan tidak sesekali minta dilayani masyarakat. Apalagi memberikan ‘janji – janji ‘ muluk kepada masyarakat dan meminta atau menerima imbalan dari masyarakat.

Kedua, berorientasi pada kemandirian masyarakat agar mampu menangani persoalan kemiskinan dan ketertinggalan dengan potensi yang dimilikinya dan tidak menciptakan ketergantungan masyarakat pada fasilitator maupun pada keberadaan atau bantuan dari pihak-pihak di luar masyarakat. Ini juga termaknai bahwa Faskom harus senantiasa berupaya merangkul berbagai pihak ke dalam iklim kemitraan, kebersamaan, kesatuan, dan tidak menciptakan pengkotak-kotakan maupun menunjukkan sikap diskriminasi.

Ketiga, Berorientasi pada prinsip-prinsip kemasyarakatan dan prinsip-prinsip nilai kemanusiaan. Ini termaknai bahwa tidak ada satu daerah pun yang maju dan keluar dari kemiskinan dan ketertinggalannya bila tidak menjunjung tinggi prinsip-prinsip partisipasi, demokrasi, transparansi, akuntabilitas dan desentralisasi. Di samping itu, menjunjung tinggi nilai – nilai lokal kemasyarakatan seperti dapat dipercaya, jujur, ikhlas, adil, setara dan kebersamaan dalam keragaman. Karena esensi dan eksistensi secara filosofis sosiologis sebuah kemiskinan dan ketertinggalan justru ada pada masyarakat yang belum mampu menerapkan prinsip-prinsip kemasyarakatan dan prinsip-prinsip kemanusiaan di atas.

Sebagai penutup tulisan singkat ini, selamat kepada para insan yang memilih profesi sebagai fasilitator masyarakat apapun bentuknya, dan terkhusus selamat berjuang para Faskom Bangun Mandar, teruslah menjadi aktivis pemberdayaan sejati yang berorientasi ‘qalbu’ yang mengedepankan proses dan bukan pada target.

Rabu, 12 Mei 2010

Bangun Mandar sebuah Alternatif Inovasi dan Solusi Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Sulbar

Tulisan ini juga bisa dibaca Harian Pagi Radar Sulbar 2 edisi berturut-turut ; Senin & Selasa, 3 - 4 Mei 2010 dan bisa diakses di http://www.majenekab.go.id/


“Kehadiran Fasilitator Komunitas (Faskom) di kampung kami menjawab kerinduan masyarakat yang selama ini sangat menantikan sentuhan pemberdayaan masyarakat dalam proses memajukan desa dan warga kami”. Demikian kurang lebih ungkapan tulus seorang warga menerima kehadiran Faskom Bangun Mandar (Gerakan Pembangunan Desa Mandiri berbasis Masyarakat) di desa mereka.


Penyelenggaraan pembangunan di provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) telah mencapai sejumlah kemajuan dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai infrastruktur terkait transportasi, perhubungan, komunikasi, dan energi secara bertahap mengalami perbaikan. Pembangunan manusia terkait pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat semakin menunjukkan indikasi perbaikan.

Meskipun demikian, hasil-hasil yang telah dicapai tersebut dinilai masih kurang significant, utamanya gambaran terhadap realisasi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Hal itu disebabkan kegiatan pembangunan selama tiga tahun ini belum fokus dan terkonsentrasi pada sektor-sektor dan daerah-daerah yang seharusnya diprioritaskan.
Sejak awal terbentuknya Provinsi Sulbar berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004, lima kabupaten (Mamuju, Mamuju Utara, Mamasa, Majene, dan Polman) terkategorikan daerah tertinggal sehingga sebagian besar desanya juga merupakan desa tertinggal. Beberapa data di bawah ini menunjukkan kemajuan yang dicapai oleh Pemerintah Provinsi Sulbar.

Salah satu tantangan yang dihadapi pembangunan ke depan adalah penanggulangan kemiskinan. Sulbar sebagai provinsi baru, menghadapi masalah yang relatif lebih berat dalam penanggulangan kemiskinan dibandingkan daerah lain, mengingat realitas ketertinggalan yang dialami pada awal pembentukan/pemisahannya dari Provinsi Sulawesi Selatan. Karena itu, sebuah upaya yang terfokus pada penanggulangan kemiskinan menjadi keniscayaan dalam pembangunan ke depan.

Dalam RPJM 2006-2011, strong point pembangunan Sulbar diletakkan pada penanggulangan kemiskinan. Untuk mengakselerasi target pencapaian penanggulangan kemiskinan pada 2009 – 2011, sebuah upaya komprehensif dan terfokus diperlukan dengan melibatkan semua stakeholder pembangunan di Sulbar. Pemerintah daerah dalam perannya sebagai pengambil kebijakan dan menjalankan fungsi pemerintahan, pelayanan dan pemberdayaan, memiliki keniscayaan dalam menginisiasi penanggulngan kemiskinan yang komprehensif dan terfokus tersebut.

Adalah sebuah kebenaran bahwa tertanggulanginya kemiskinan tidak bisa diharapkan tuntas melalui dorongan pertumbuhan ekonomi semata. Terdapat batas kemampuan dari pertumbuhan ekonomi untuk bisa ‘berefek menetes ke bawah’ bagi keluarnya rumah tangga miskin dari perangkap kemiskinannya. Karena itu, diperlukan pendekatan selain pertumbuhan ekonomi tersebut, dalam hal ini pemberdayaan masyarakat. Artinya, bila dorongan pertumbuhan ekonomi yang telah diupayakan di Sulbar selama ini dikomplementasi dengan pemberdayaan masyarakat, maka penanggulangan kemiskinan diekspektasi akan lebih efektif.

Dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, upaya penaggulangan kemiskinan lebih difokuskan pada peningkatan kemampuan dan perbaikan kelembagaan yang memungkinkan orang miskin bersama komunitasnya lebih dapat meningkatkan potensi diri dan lingkungannya dalam memecahkan masalahnya dan kebutuhannya. Fokus dari pemberdayaan bukan hanya perubahan pada orang miskin tetapi juga perubahan pada lingkungannya baik terkait sumberdaya maupun kelembagaan.

Lingkungan terkecil dari realitas kemiskinan di Indonesia adalah desa. Pada tingkat desa realitas kemiskinan terkonstruksi unsur-unsur lokalitasnya, selanjutnya desa tersebut berinterkoneksi dengan desa lainnya. Gambaran ini membawa pemahaman bahwa sebuah daerah pada hakikatnya adalah jalinan interkoneksi lokalitas-lokalitas desa, dan dibalik jalinan interkoneksi itulah kemiskinan terjelmakan.

Di Sulbar, sebagian besar desa merupakan desa tertinggal yang didalamnya kemiskinan termanifestasikan. Desa-desa tertinggal tersebut tersebar di seluruh Kabupaten baik pada wilayah dataran tinggi berciri desa perladangan, wilayah dataran rendah berupa desa padi sawah dan perkebunan rakyat, maupun wilayah pesisir berupa desa pantai. Karena itu, dalam penanggulangan kemiskinan, pendekatannya tidak hanya meniscayakan pemberdayaan masyarakat, tetapi juga pendekatan pemandirian desa. Dengan sinergi pemberdayaan masyarakat dan pemandirian desa, yang didalamnya berinterkoneksi unsur manusia, kelembagaan dan sumberdaya, dapat diekspektasi terkembangkannya teknostruktur lokalitas desa dalam mengelola potensi lokalitasnya.

Gerakan Bangun Mandar sebagai sebuah inovasi pembangunan pada tingkat provinsi diharapkan dapat berjalan secara bersama dan mendukung upaya tingkat pembangunan kabupaten untuk mengefektifkan upaya penanggulangan kemiskinan berbasis kemandirian desa dalam menghasilkan produk unggulan sesuai potensinya melalui sinergi antara program pemerintah daerah dengan fasilitasi keberdayaan masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, sasaran yang ingin dicapai melalui Bangun Mandar adalah:

1.Meningkatkan teknostruktur (teknologi dan kemampuan ) masyarakat desa dalam mengelolah potensi desanya sesuai tuntutan dinamika perubahan.
2.Berkembangnya kelembagaan (organisasi dan aturan main yang mengarahkan kebersamaan dalam pencapaian tujuan bersama) tingkat desa yang memberi ruang bagi akses dan kontrol orang miskin baik laki-laki maupun perempuan dalam pengelolaan sumberdaya internal desa.
3.Terbukanya jaringan kelembagaan desa dalam mengakses sumberdaya dan memasarkan produk pada tingkat desa.
4.Efektifnya pencapaian hasil program SKPD dalam mewujudkan visi daerah dan mendukung keberdayaan masyarakat di sisi lainnya.

Adapun luaran untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut adalah :
1.Dokumen perencanaan program/kegiatan pembangunan pada tahun 2010 yang terwarnai dengan upaya pemberdayaan masyarakat sesuai karakteristik program/kegiatan tersebut untuk diimplementasikan pada lokasi-lokasi desa tertinggal.
2.Dokumen perencanaan fasilitasi desa-desa tertinggal berbasis pembelajaran sosial untuk pemberdayaan masyarakat dilengkapi kerangka sinerginya dengan program/kegiatan SKPD tingkat provinsi yang berbasis rekayasa sosial untuk tahun 2011.
3.Dokumen kerangka monitoring dan evaluasi program dan kegiatan untuk tahun 2010 dan 2011.

Agar semua elemen masyarakat dan elemen pembangunan yang terlibat dalam program Bangun Mandar dapat lebih efektif berkonstribusi positif, pemahaman terhadap sejumlah konsep dan kerangka yang melatari Bangun Mandar menjadi penting dilakukan.

Kerangka Konseptual dan Substansi Bangun Mandar

Terpahami secara umum bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sebuah rumah tangga memiliki tingkat pendapatan di bawah standar yang memungkinkannya hidup layak secara manusiawi. Di dalam memanifestasikan mata pencaharian, sebuah rumah tangga pada dasarnya merupakan sumberdaya sekaligus unit kegiatan. Sebuah rumah tangga, selain memiliki sumberdaya manusia, fisik, keuangan, dan teknologi juga menjalankan aktifitas produksi, konsumsi dan manajemen. Dengan demikian, kemampuan mata pencaharian sebuah rumah tangga merupakan hasil kombinasi antara elemen sumberdaya dan aktivitas ke dalam elemen rumah tangga.

Dalam Program Bangun Mandar, selain memahami realitas kemiskinan berdasarkan perspektif yang diacu berbagai program penanggulangan kemiskinan yang ada di Indonesia selama ini. Beberapa perspektif inovatif juga di jadikan sebagai acuan konseptual seperti uraian berikut ini.

Tiga Unsur Pembangunan (R-O-N)

Dalam pembangunan alamiah suatu tatanan, ataupun dalam perubahan yang direncanakan pada tatanan tersebut, pada dasarnya selalu melibatkan 3 (tiga) unsur yakni : sumberdaya, organisasi, dan norma-norma yang saling komplementer satu sama lain. Sumberdaya (Resources/ R) adalah suatu unsur yang dikelola dalam berjalannya sebuah perubahan, mencakup sumberdaya fisik (alam dan buatan) finansial dan teknologi. Organisasi (Organization/O) adalah unsur yang mengelola sumberdaya tersebut, dimana organisasi adalah agregasi berbagai unsur dalam berbagai pola. Norma (Norms/N) adalah aturan/prinsip-prinsip nilai yang menjadi acuan bagi pelaku dalam mengelola sumberdaya.

Suatu tatanan dan perubahan alamiah secara garis besar melibatkan hubungan komplementatif R-O-N yang polanya tersesuaikan secara dinamis dari waktu ke waktu. Tatanan tersebut mampu menyesuaikan pola R- O- Nnya secara dinamis untuk menangkap peluang dan beradaptasi dengan lingkungan strategisnya, maka semakin berkembang tatanan tersebut. Sebaliknya, bila tatanan tersebut lemah dalam menyesuaikan pola komplementasi R-O-Nnya, maka ia akan tertinggal oleh perubahan.

Pembangunan Sektoral


Pemberdayaan masyarakat melalui penerapan pendekatan partisipatoris memerlukan komplementasi dengan pembangunan sektoral dalam mewujudkan kemajuan lokalitas dan daerah secara efektif. Untuk itu, pembangunan sektoral yang dijalankan secara top down oleh SKPD tetap memiliki urgensi sebagai komplementer atas keberdayaan masyarakat.

Peran SKPD yang menghantarkan sumberdaya untuk pembangunan infrastruktur, budidaya dan pengolahan pertanian, peternakan dan perikanan, pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengembangan koperasi dan UKM dan lain-lainnya, menempati porsi besar dalam konteks ini. Bila pemberdayaan masyarakat dilahirkan oleh pembenahan O dan N yang lebih dominan, pembangunan sektoral dilahirkan oleh penghantaran sumberdaya yang dominan. Dengan itulah sinergi R-O-N dapat dihasilkan secara efektif.

Teknostruktur Desa dan Produk Unggulan Lokalitas

Sinergitas atas pemberdayaan masyarakat dengan pembangunan sektoral pada arena pembangunan tingkat desa, pada gilirannya diekspektasi untuk mewujudkan desa sebagai entitas mandiri yang memiliki teknostruktur yang kuat dan produk spesifik yang berdaya saing sesuai level areanya.

Teknostruktur desa (dimaksudkan sebagai kelembagaan yang kuat di dalamnya berlaku nilai/aturan yang terpatuhi oleh setiap warga desa demi kebersamaan, lalu warga tersebut terorganisir satu sama lain dalam mengelola sumberdaya yang ada secara terpadu dengan pemanfaatan teknologi yang berkembang terus sesuai dinamika perubahan, dan pada akhirnya menghasilkan sinergi kekuatan kelembagaan dengan kemajuan teknologi) akan menghasilkan produk unggul berbasis sumberdaya lokalitasnya. "One Village One Product".

Pada akhirnya, beberapa hal penting perlu digarisbawahi dalam paparan di atas adalah. Pertama, Program Bangun Mandar yang ‘asli’ digagas oleh Pemerintah Provinsi Sulbar merupakan salah satu inovasi cerdas dalam upaya penanggulangan kemiskinan menuju desa mandiri berbasis masyarakat. Gagasan ini diharapkan berhasil menorehkan sebuah proses penyadaran kritis yang membangkitkan sinergitas antara pemberdayaan masyarakat di satu sisi dan pemberdayaan pemerintah daerah pada sisi lain. Bahwa kemudian ke depan, gagasan ini menjadi model nasional upaya penanggulangan kemiskinan pada wilayah-wilayah (desa) tertinggal lainnya di Indonesia, itu hal lain.

Kedua, dalam implementasi Bangun Mandar, peran fasilitator bukan hanya sebagai pendamping komunitas yang sepenuhnya berproses sesuai dinamika netralitas partisipasi, ia juga berperan sebagai pendamping komunitas yang menganalisis anatomi lokalitasnya, sehingga efek penguatan lokalitas desa di balik perencanaan dan implementasi partisipatoris yang didorong kemudian terkontekskan pada arah perubahan lokalitas.

Ketiga, bahwa dalam Bangun Mandar, Faskom tidak hanya mendampingi proses pemberdayaan masyarakat sebagai inner system, namun ia juga dituntut membantu SKPD dengan dukungan data atau informasi desa dalam memfasilitasi bertemunya program sektoral SKPD dengan aspirasi dan keberdayaan masyarakat. Dengan itu, perubahan yang difasilitasi bukan hanya keberdayaan masyarakat, tetapi perubahan sistem desa dan daerah sebagai totalitas, sebuah pemberdayaan lokal.

Sebagai penutup tulisan ini, ada pernyataan menarik dan menggugah olah rasa dan olah pikir kita yang terungkap dari salah seorang Faskom masyarakat Desa Bambang (Kec. Bambang Kab. Mamasa) seperti yang diungkapkan warga masyarakat ketika pertama kali dia tiba di daerah tersebut: “Dengan kehadiran Bapak selaku Faskom di daerah ini, kami merasa Pak Gubernur sudah tiba di desa kami, terima kasih banyak Pak”.