Perlu Evaluasi Kurikulum dan Kultur Kampus
Makassar, 9/4 (ANTARA) - Banyaknya tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) belakangan ini harus mendorong kalangan akademisi dan pihak-pihak terkait untuk mengevaluasi kurikulum dan kultur kampus yang tidak lagi mendukung terciptanya wadah pendidikan yang kondusif.
"Saya sangat prihatin dengan merebaknya tindakan kekerasan yang dilakukan mahasiswa yang kelihatannya sudah menjadi bagian yang sistemik terkait dengan persoalan kultural dan psikologis," kata Busman D.S., M.Hum, sosiolog yang juga alumni Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Rabu.
Tindak kekerasan di lingkup perguruan tinggi yang sudah mengarah ke premanisme, menurut Busman, disebabkan kurikulum pendidikan yang ada sudah tidak mampu menggiring mahasiswa untuk berpikir logis. "Selain itu, dosen-dosen selaku pengajar dan pendidik tidak cukup mendukung mahasiswa untuk berpikir logis," ujarnya.
Selain itu, kata alumni program master filsafat Universitas Indonesia (UI) ini, perguruan tinggi lebih cenderung mendorong kecerdasan intelektual mahasiswa tanpa diimbangi dengan kecerdasan emosional. Sementara dari sisi kultural, diakui bahwa warga yang lahir di KTI memiliki kecenderungan tempramental. Namun hal ini jangan dijadikan stigma untuk melegitimasi aksi-aksi demonstrasi atau tawuran yang bersifat destruktif, ujarnya.
Menyinggung sinyalemen bahwa aksi mahasiswa di KTI yang destruktif itu terkait dengan unsur politis, ia mengatakan, hal itu bisa saja terkait mengingat adanya momen-momen yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik Pilres 2009 dimana salah satu calon yang santer digadang-gadang adalah Wakil Presiden, HM Jusuf Kalla yang merupakan putra daerah dari KTI. "Mungkin ada yang memanfaat itu untuk mediskreditkan calon dari KTI atau bisa juga terkait dengan momen Pilkada yang ada di daerah masing-masing," katanya.
Untuk bisa keluar dari lingkaran persoalan itu, Busman mengatakan bahwa semua pihak terkait dengan pendidikan tinggi harus mengedepankan pendidikan etika yang diimplementasikan ke dalam kurikulum dan kultur kampus itu sendiri.
Hal senada dikemukakan DR Alwi Rahman, pengamat sosial dari Universitas Hasanuddin, Makassar. Menurut dia, kultur dan pendidikan etika di kampus yang tidak jalan selama ini sehinga tidak mengherankan jika mahasiswa lebih cenderung mengejar kecerdasan intelektual untuk memenuhi target kurikulum.
"Kultur yang terbangun di kampus tidak cukup menunjang dan mengarahkan mahasiswa untuk melahirkan kajian-kajian logika," katanya sembari mengimbuhkan, yang ada adalah kesan pendidikan sebagai komoditas komersial, bahkan tergantung pada komoditas politik tertentu sebagai implikasi dari kebijakan pemerintah.Karena itu, sudah saatnya kurikulum dan kultur perguruan tinggi dievaluasi dan dibenahi jika tidak ingin kondisi kampus menjadi lebih buruk lagi.
Selasa, 15 April 2008
Rabu, 09 April 2008
Mahasiswa Sering Tawuran, Kurikulum Kambing Hitam
Rabu, 09-04-2008 18:00:02
Laporan: Andi Syahrir, tribuntimurcom@yahoo.com
Makassar, Tribun - Aksi tindak kekerasan yang kerap kali dilakukan para mahasiswa mendorong kalangan akademisi untuk mengevaluasi kurikulum dan kultur kampus. Dua variabel tersebut dinilai tak lagi mendukung terciptanya wadah pendidikan yang kondusif.
"Saya sangat prihatin dengan merebaknya tindakan kekerasan yang dilakukan mahasiswa yang kelihatannya sudah menjadi bagian yang sistemik terkait dengan persoalan kultural dan psikologis," kata Busman DS, M. Hum, sosiolog yang juga alumni Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Rabu (9/4).
Menurut Busman, seperti dikutip Antara, tindak kekerasan di lingkup perguruan tinggi yang sudah mengarah ke premanisme. Sebabnya, kurikulum yang ada sudah tidak mampu menggiring mahasiswa untuk berpikir logis. "Selain itu, dosen-dosen selaku pengajar dan pendidik tidak cukup mendukung mahasiswa untuk berpikir logis," ujarnya.
Selain itu, kata alumni program master filsafat Universitas Indonesia (UI) ini, perguruan tinggi lebih cenderung mendorong kecerdasan intelektual mahasiswa tanpa diimbangi dengan kecerdasan emosional. Sementara dari sisi kultural, diakui bahwa warga yang lahir di KTI memiliki kecenderungan tempramental. Namun hal ini jangan dijadikan stigma untuk melegitimasi aksi-aksi demonstrasi atau tawuran yang bersifat destruktif, ujarnya.(*)
http://www.tribun-timur.com/view.php?id=72218&jenis=Makassar
Laporan: Andi Syahrir, tribuntimurcom@yahoo.com
Makassar, Tribun - Aksi tindak kekerasan yang kerap kali dilakukan para mahasiswa mendorong kalangan akademisi untuk mengevaluasi kurikulum dan kultur kampus. Dua variabel tersebut dinilai tak lagi mendukung terciptanya wadah pendidikan yang kondusif.
"Saya sangat prihatin dengan merebaknya tindakan kekerasan yang dilakukan mahasiswa yang kelihatannya sudah menjadi bagian yang sistemik terkait dengan persoalan kultural dan psikologis," kata Busman DS, M. Hum, sosiolog yang juga alumni Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Rabu (9/4).
Menurut Busman, seperti dikutip Antara, tindak kekerasan di lingkup perguruan tinggi yang sudah mengarah ke premanisme. Sebabnya, kurikulum yang ada sudah tidak mampu menggiring mahasiswa untuk berpikir logis. "Selain itu, dosen-dosen selaku pengajar dan pendidik tidak cukup mendukung mahasiswa untuk berpikir logis," ujarnya.
Selain itu, kata alumni program master filsafat Universitas Indonesia (UI) ini, perguruan tinggi lebih cenderung mendorong kecerdasan intelektual mahasiswa tanpa diimbangi dengan kecerdasan emosional. Sementara dari sisi kultural, diakui bahwa warga yang lahir di KTI memiliki kecenderungan tempramental. Namun hal ini jangan dijadikan stigma untuk melegitimasi aksi-aksi demonstrasi atau tawuran yang bersifat destruktif, ujarnya.(*)
http://www.tribun-timur.com/view.php?id=72218&jenis=Makassar
Senin, 07 April 2008
Langganan:
Postingan (Atom)