Senin, 11 Juli 2011

Orang Sakit dilarang Miskin (Sebuah Catatan Reflektif )

Pengalaman ini langsung mengingatkan penulis pada kejadian tempo hari yang dialami seorang ibu dari sebuah desa nun jauh di pelosok hutan lindung Mamuju sana. Si ibu yang baru saja melahirkan terpaksa dibawa ke rumah sakit karena plasentanya masih tertinggal di dalam rahim selama tiga hari. Menurut seorang kawan (ahli medis), plasenta itu seharusnya keluar semua karena kalau tidak akan terjadi infeksi. Kondisi itu sangat bisa termaklumi karena pertolongan medis pertama hanya dilakukan secara sangat sederhana oleh seorang dukun beranak di kampung. Untuk mencapai fasilitas pelayanan medis (seperti yang dibayangkannya) sang ibu harus di tandu sejauh kurang lebih 23-an km melintasi perbukitan bahkan pegunungan dan beberapa anak sungai dan sebuah sungai selebar seratus meter.

Kondisi tersebut sudah sempat penulis napak tilasi bersama rekan lainnya beberapa waktu yang lalu. Dan, jaraknya memang sangat luar biasa. Terbayang bagaimana sang ‘pejuang sejati’ ibu menahan rasa sakit dan perjalanan yang sangat melelahkan dan penuh risiko. Kontradiktifnya, sesampainya di rumah sakit, si Ibu bukannya langsung memperoleh pelayanan medis, melainkan direpotkan dengan berbagai macam persyaratan yang cenderung mengada-ada. Nah, kaitan dengan cerita orang miskin dilarang sakit itu begini ceritanya.

Dua tahun terakhir ibu kami tercinta (adik-adik familiar memanggilnya mama') sering mengalami sakit (faktor usia menjadi salah satu penyebabnya). Kamis kemarin (31 Maret 2011) dalam perjalanan kunjungan lapangan ke kabupaten Polman dan kabupaten Mamasa seorang adik di Makassar mengirimkan pesan singkat yang isinnya mengabarkan kalau ibu merasa kurang enak badan. Sementara di depan forum monitoring sosialisasi program yang dihadiri beberapa SKPD, para camat dan kepala desa sasaran BangunMandar, saya menyempatkan membalas sms dimaksud (mumpung belum giliran bicara). Isi balasannya, menyarankan agar ibu segera dibawa ke dokter praktek.Sebenarnya ini tergolong kurang sopan 'hampir' sama tidak sopannya ketika salah seorang anggota dewan di senayan sana yang membuka-buka kiriman email saat sidang paripurna, apapun itu isinya. Forum sempat naik suhunya di awal acara, namun dengan kedewasaan dan sikap yang sangat 'mandar' mengantarkan semua audiens pada suasana yang sangat sejuk.

Acara di Polman usai dalam suasana batin saya yang setengah fokus. Kami kemudian segera melanjutkan perjalanan ke Mamasa. Perjalanan ke Mamasa luar biasa menyita energi karena kondisi jalan yang kurang bersahabat. Kondisi jalannya sangat kontras dengan sepanjang jalan yang kami lalui ketika masih berada di wilayah Polman. Beruntung karena kondisi jalan yang sangat parah (terbayang kalau turun hujan dijamin mobil sejuta umat yang kami tumpangi, avanza, red., tidak akan sanggup mencengkramkan bannya melintasi lumpur sedalam lutut orang dewasa tersebut) bisa terobati dengan pemandangan alam yang sangat indah. Sepanjang jalan dipenuhi pegunungan dan hutan yang masih lumayan perawan. Kita seolah sementara ada di atas pesawat berpenumpang enam orang plus pilot dan co pilot. Jurang yang dalam dan udara hutan yang sangat sejuk seolah membawa kami ke suasana perjalanan dari kota Padang ke Bukit Tinggi. Kedalaman jurang sempat teranalogikan oleh seorang kawan yang duduk di sebelah saya; "Om Bush, kalau mobil kita terperosok ke jurang ini, maka kita perlu menyayikan tujuh kali lagu Indonesia Raya baru bisa sampai ke dasar jurang."Upss!!!

Kondisi jalan mengantarkan kami pada suasana goyang bollywood ala Briptu Norman 'caiyya-caiyya' Kamaru sepanjang perjalanan. Menjelang magrib, akhirnya kami tiba di kota Mamasa. Suara lolongan anjing kurus menyambut kehadiran kami. Hiruk pikuk (meski tidak terlalu pikuk, karena menjelang petang) penduduk kota Mamasa mulai terlihat beranjak dari aktivitas mereka masing-masing. Pasar tradisional yang sempat kami lintasi pun mulai terlihat sepi. Tersisa beberapa pedagang buah (kebetulan lagi musim duren, walau di Mamasa sebenarnya tidak banyak duren) yang masih menjajakan dagangannya. Suasana perut keroncongan mengantarkan kami segera menuju sebuah hotel terkemuka di kota Mamasa (sebenarnya bukan juga hotel, sekelas losmen tapi diberi label hotel, biar terkesan keren kali').

Seorang kawan sempat protes sesampainya di kamar, kok tidak ada ACnya ya? Hehehee..., gimana mau ada AC, suhu kamar saja di bawah 20 derajat celsius kok. Menjelang azan magrib, kami deal mendahulukan shalat apa makan? Belum selesai kalimat di mulut mengucapkan itu, mereka serentak menyahut MAKAN!!!. Ha..ha...ha..., artinya, hunting pertama adalah mencari rumah makan yang di depannya terpajang beberapa stiker atau sekedar poster bertuliskan huruf arab atau sejenisnya. Padahal, dalam pikiran ini terbesit gagasan kalau kita menuju mesjid dijamin dekat-dekat sana ada warung atau sejenisnya yang jual makanan dimaksud. Pilihan menu akhirnya terputuskan ke mie instant plus telor rebus dan kopi plus pisang goreng. Ya cukuplah sebagai makanan pengganjal sebelum shalat.

Keesokan subuh, kami menyempatkan ke permandian air panas sekitar penginapan. Rasa belerang begitu menyengat di hidung. Tergoda oleh cerita yang sedikit berbau mistis terkait kemunculan pertama kali air tersebut, kami pun menghabiskan waktu sekitar dua jam lebih di kolam dimaksud sambil menikmati nikmatnya suguhan kopi asli Mamasa didampingi goreng pisang rasa keju campur susu kental manis (kata pelayannya, susu cap nona). Menjelang pukul 09.27, dalam suasana kota Mamasa yang masih kelihatan beberapa warga asyik membungkus diri dalam sarung khas Mamasa yang warnanya sangat cerah cenderung meriah di depan rumah masing-masing, kami pun menuju ruang pola kantor bupati. Oia, ada sedikit cerita menarik terkait kebiasaan warga yang masih bermalas-malasan pada jam produktif seperti ini. Seorang Faskom (fasilitator komunitas) pernah melakukan proses refleksi penyadaran potensi kaitanya dengan kondisi ketertinggalan yang dialami warga di sana. Simpulannya luar biasa menurut saya, sang Faskom berkesimpulan; warga di sini tertinggal dan cenderung miskin karena diakibatkan oleh pengaruh 'iklim' dingin jadi bukan karena malas..., he...he...he..., sebuah proses justifikasi yang sangat cerdas (manusia menyalahkan alam). Pesan saya, hati-hati berkesimpulan. Celakanya, tidak seorang warga pun kala itu yang tidak setuju dengan simpulan itu..., ha...ha...ha...

Di ruang pola kantor bupati, bersama pak Sekda Mamasa, kepala badan PMD kabupaten, kepala BPMD Provinsi, saya didaulat duduk di depan siap-siap mempresentasikan materi sosialisasi program 2011 dan monev pelaksanaan program selama 2010. Acara berlangsung semangat 'hampir' sesemangat di Polman kemarin. Setelah acara usai, kami berinisiatif bersama kawan-kawan Faskom Mamasa melanjutkan diskusi dan sharing pengalaman lapangan di sebuah rumah makan sambil menikmati menu makan siang di kota Mamasa. Tetap dalam suasana sms dan memantau perkembangan kesehatan ibu tercinta melalui bapak dan adik di Makassar, tukar pengalaman dan pikiran antar pelaku terus berlanjut sampai menjelang ashar.

Sekitar menjelang ashar kami meninggalkan kota Mamasa dalam suasana ceria meski perasaan ini terus teringat sang Ibu tercinta yang lagi berjuang melawan sakitnya. Sesampainya di kota Polewali, kami sepakat melanjutkan perjalanan ke kota Majene setelah makan dan melaksanakan shalat magrib dan isya. Tersepakati untuk menginap semalam di kota Majene sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke kota Mamuju. Perjalanan meninggalkan kota Polewali sudah mulai terasa lelah dan kantuk mengusik seluruh tubuh dan mata ini. Saya memutuskan menyetir sendiri mobil agar bisa menahan kantuk namun mata memang sudah tidak bisa ditoleransi. Sementara rombongan mobil satunya lagi sudah meninggalkan kami jauh di depan sana, kemungkinan sudah mendekati kota Majene. Saya bersama asisten akhirnya memutuskan nginap saja di salah satu hotel di kota Wonomulyo. Sebelum tertidur pulas saya sempat menelepon ke HP Bapak menanyakan informasi terkini terkait kondisi ibu. Bapak memastikan, beliau masih baik-baik saja. Maka, tertidurlah saya dalam suasana lelah yang sangat mendalam.
Sekitar pukul 03 dinihari telepon berbunyi, dalam kondisi kantuk saya berupaya meraih HP dan mencoba melihat siapa yang menelopon. Tertera dengan samar-samar 'BapakMoeda' (begitu nama yang saya save sewaktu pertama kali menyimpan nomor handphone Bapak).

Dikejauhan sana, bapak menginformasikan kalau ibu tidak sanggup lagi menahan rasa sakitnya. Serta merta saya mengusulkan agar beliau segera dibawa ke RS. Tanpa basa-basi, saya bangunkan sang asisten dan minta dia melanjutkan perjalanan ke Mamuju besok pagi dengan mobil umum saja. Dalam kondisi seperti ini, pekerjaan tidak berlaku, keluarga harus lebih prioritas. Sebelum adzan subuh berkumandang, saya segera meluncur ke Makassar berdua dengan 'My Sweet Xexi Sporty' (Xenia Xi Sporty, red.). Hanya diselingi mampir shalat subuh di Manding, saya melanjutkan perjalanan dalam alunan nasyid dan tiba sebelum shalat dhuhur di rumah orang tua. Seusai shalat dhuhur, kami inisiatif membawa ibu ke stroke center, asumsinya jangan-jangan ibu mengalami tensi yang hiper. Langsung ke UGD, perjuangan mulai di tempat ini.

Waktu itu kami sepakat, ibu sebaiknya rawat inap di RS itu saja agar bisa langsung ditangani secara medis apabila terjadi sesuatu. Namun, kata juru rawat, semua kamar penuh. Setelah negosiasi beberapa lama ibu akhirnya diperiksa dan diberi infus. Atas instruksi perawat jaga salah seoarang adik mencoba mencari kamar kosong sesuai saran sang petugas medis. Saya mulai bertanya-tanya dalam hati, kok harus keluarga pasien yang keliling mencari kamar kosong? Saya pun bertanya langsung, jawabnya memang begitu pak prosedurnya kalau pakai Jamkesmas. Loh saya kan tadi daftar 'umum'? "Tidak pak, sudah dialihkan ke Jamkesmas oleh bapak yang satu itu" kata petugas loket. Rupanya, adik ditelepon oleh salah seorang kenalan yang paham mekanisme rawat inap menyarankan kalau kamarnya di kelas tiga, pakai fasilitas Jamkesmas saja. Okelah, kita di sana saja sementara menunggu kamar VIP yang kosong. Akhirnya, mobil ambulance 'butut' (karena jaraknya memang dekat, hanya sekitar 600 km) mengantar ibu bersama dua pasien lainnya ke kamar dimaksud.

Secara orang baru pertama kali masuk ke RS itu, saya sempat kebingungan, ibu tadi di bawa kemana ya? Apalagi tidak sempat bertanya 'judul' kamarnya. Belum lagi pak Satpam jaga yang tidak mengizinkan mobil masuk sementara tampak di depan mata sedemikian banyaknya mobil umum di dalam areal RS. Setelah nego ala orang baru, pak Satpam akhirnya mengizinkan kami masuk. Berkeliling seputaran jalan RS, tampak di sana-sini suasana lokasi yang dikelilingi penghuni saudara-saudara kita yang sakit jiwa. Si Kakak dan si Adek yang sejak tadi ikut di mobil kebingungan melihat orang-orang tersebut. “Yaya, kenapa itu olang?” Bundanyapun menjawab sekenanya: “Mereka lagi main-main nak.”

Setelah sempat tersesat dua kali, akhirnya gedung di maksud ketemu juga. Dari penampakan gedung, penataan dan 'view'nya lumayan bagus. Hasil bincang-bincang dengan salah seorang petugas jaga, ini dulu memang diperuntukkan sebagai ruang penyakit dalam sebelum akhirnya RS tersebut dipindah ke kawasan perintis dekat kampus Unhas. Memasuki lorong kamar inap, hawa pengap dan bau khas rumah sakit (benar-benar sakit bukan 'sehat') mulai tercium. Saya mulai kepikiran, wah ini akan menambah sakit ibu secara psikologis. Pas masuk kamar, tampak ibu sudah terbaring dengan infusnya di sudut ruang dekat jendela.

Awalnya, miris sekali melihat pemandangan kamar tersebut. Pintu kamar saja, gagangnya copot, pintu kamar mandi hanya terikat seutas tali (saya yakin ini inisiatif keluarga pasien sebelumnya) dengan grendel bagian dalam yang copot dan diganti sepotong belahan bambu entah dari mana. Begitu pula pintu bagian belakang, semua gagangnya tak karuan. Cat tembok usang dengan lumut yang mulai tumbuh akibat rembesan kamar mandi, daun jendela yang jorok nyaris tidak pernah dibersihkan. Pemandangan sekitar luar jendela, benar-benar kurang menyehatkan. Ingin rasanya membawa peralatan tukang lengkap dengan gagang pintu dan alat bersih-bersih dari rumah lalu memperbaiki sendiri dan membersihkan daun pintu dan sudut-sudut ruangan yang kotor.

Astagfirullah..., pikiran saya sederhana menyikapi itu, namanya juga GRATIS. Hal yang membuat saya tertawa sendiri dalam hati, karena baru saja kami menuntaskan laporan hasil evaluasi kebijakan terkait program kesehatan dan pendidikan gratis (kebetulan saya menjadi salah satu anggota tim evaluasi dari tujuh orang yang di SK resmi oleh pak Gubernur), eh malah saya yang mengalami langsung di lapangan. Ya itung-itung researching/learning by doing lah sebelum penelitian lanjutan terkait implementasi di lapangan. Setidaknya ini bisa menjadi data awal. He..he...he...,
Melihat itu, saya langsung inisiatif mencari sendiri kamar di ruang VIP setidaknya kelas I yang lebih 'sehat'. Sampai di sana, semua kamar penuh kecuali ada satu kamar kelas II namun WC nya mampet. Saya lalu beranjak ke sebuah gedung mewah yang di dalamnya bersih walau masih agak sepi. Rupanya, inilah yang dimaksud pusat stroke. Semua tertata apik dan sangat bersih. Di sana-sini tampak kesan kalau ini bukan rumah sakit melainkan rumah sehat. Bagian belakang gedung itu, ada sebuah mushallah yang sangat bersih untuk ukuran sebuah fasilitas umum. Saya mencoba bertanya, rupanya itu diperuntukkan khusus bagi penderita stroke. Sementara, penyakit ibu menurut hasil diagnosa sementara dokter dan hasil lab yang kami bawa, bukan termasuk dalam golongan penyakit itu. Saya pun kembali ke kamar dan menyampaikan langsung ke bapak, ibu, dan salah seorang adik terkait informasi yang saya berhasil dapatkan dari 'mapping' seputaran rumah sakit.

Kesepakatannya, untuk sementara biar ibu di rawat di situ saja sambil berusaha dan menunggu perkembangan hasil diagnosa dokter yang memang kita percayakan menangani penyakit ibu. Kebetulan sekali, dokter dimaksud ketemu pertama kali di poliklinik, lalu ke tempat prakteknya kemudian untuk lebih mendekatkan pelayanan kami inisiatif membawa ibu langsung ke RS tempat sang dokter bekerja.

Entah sakit apa yang diderita oleh ibu kami tercinta, terkadang bila rasa sakit itu datang, beliau tidak sanggup menahan rasa itu. Kala rasa sakit itu hadir, kami secara bergantian berusaha melaporkan dan memanggil petugas jaga bahkan beberapa kali saya menemui dan meminta bantuan dokter jaga di ruang UGD yang jaraknya lumayan jauh dari kamar ibu. Sakingnya seringnya kami memanggil, dalam sehari dua hari itu, petugas jaga dengan sabar meladeni sebatas kemampuan mereka, namun rasa itu tidak juga hilang. Lama kelamaan, karena mereka tentu saja sudah saling memberi info akhirnya beberapa suster kelihatan sudah kehabisan kesabaran. Dalam suasana setengah panik karena awam dengan situasi dan kondisi medis seperti itu terkadang kami hanya bisa merasa iba dan tidak sanggup berbuat lebih melihat ibu menahan rasa sakit yang datangnya sering tak terduga.

Hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnosa sementara dokter (sebanyak tiga kali; di RS dua kali dan di tempat prkateknya satu kali) semua menunjukkan hasil yang tidak mengindikasikan rasa sakit yang dialami ibu. Hasil foto rontgen, gula darah normal, tensi memang cenderung tinggi, dan beberapa hasil pemeriksaan darah, air liur, dan urin tidak satu pun yang memungkinkan secara medis (kata dokter) ibu mengalami rasa sakit yang tak terhingga. Bila rasa itu datang, ibu kami sangat gelisah dan tidak tahu rasa sakitnya pada bagian mana. Saya tanya ke Bapak, apakah selama ini ibu pernah merasakan sakit seperti itu, beliau bilang tidak pernah. Kalau pun sakit, ibu termasuk orang yang tahan menahan rasa sakit selama ini. Kalau meronta seperti ini, itu artinya memang benar-benar sakit. Saking anehnya, salah seorang keluarga dan pasien sebelah sempat mengusulkan memanggilkan ‘orang pintar’. Hmmm…, makin tidak jelas. Kalau orang pintarnya tidak terlalu masalah, tapi jadi tidak make sense buat penulis ketika dia bilang, orang pintar itu bilang, ada seorang tetangga dari suku X yang merasa merasa disakiti oleh ibu kami sehingg dia ‘mengguna-gunai’. Okelah, barangkali memang ada yang merasa tersakiti, tapi kata ibu rasa-rasanya tidak pernah ada orang yang saya sakiti selama ini, kalaupun dia merasa tersakiti maka saya mohon maaf dengan tulus kepadanya.

Akhirnya, kami pun sempat merasa senang ketika sang dokter akhirnya mengeluarkan hasil diagnosa sementara setelah melalui beberapa pemeriksaan lanjutan dan disertai pemberian beberapa obat-obatan penghilang rasa sakit dan segepok obat-obatan lainnya (obat paru, obat penurun tensi, penahan rasa sakit, dan beberapa jenis obat entah apa lagi namanya, luar biasa!!!). Sang dokter bilang, ibu mengalami gejala ‘putus obat’, itu setelah diiformasikan bahwa sebelumnya ibu pernah mengkonsumsi ekstrak buah naga selama setahun ini. Ramuan tersebut memang ditengarai menghilangkan rasa sakit dan menambah nafsu makan. Terbukti, ketika rasa keram muncul, ibu langsung mengkonsumsi ramuan tersebut dan rasa keramnya berangsur hilang. Kondisi ketergantungan itu pada akhirnya dihentikan setelah ada info bahwa ramuan tersebut berefek samping. Sejak itulah, rasa sakit terasa amat sangat ketika tidak mengkonsumsi ramuan dimaksud menurut sang dokter. Okelah, kalau itu diagnosanya trus apa saran antisipatifnya, karena kan jelas obat sudah dihentikan. Maka, bertaburanlah berbagai jenis obat-obatan yang harus dikonsumsi. Solusi demi solusi kemudian tidak berhasil menenangkan ibu, memasuki hari ke dua kami memutuskan (keluar paksa) memindahkan ibu ke salah satu RS swasta di kawasan Hertasning.

Suasana kontras terasa sangat dalam sesampainya kami di RS dimaksud. Rencana awal ke stroke center berakhir di bangsal pelayanan gratis menyisakan banyak sekali pengalaman berharga buat penulis secara pribadi. Di tempat baru, kami menempati ruang VIP dengan pelayanan prima dan tentu saja dengan implikasi finansial yang juga wah. Kata beberapa tetangga yang tidak paham masalah, kenapa tidak sejak awal di bawa ke sini? Sakit ibu tetap datang seperti biasa, namun kali ini ditangani dengan sangat profesioanal oleh beberapa tim dokter ahli (spesialis: jantung, paru, internis, dan psikolog). Pelayanan prima juga terasa sekali dilakukan dengan nyaris sempurna oleh beberapa tim perawat walau tidak semuanya memiliki kecerdasan afektif yang baik. Ada juga yang masih mengedepankan aspek kognitif dan psikomotorik semata. Kondisi tersebut langsung mengingatkan saya pada konsep Foucault tentang eksploitasi tubuh yang dilakukan oleh RS Jiwa. Hehehee…,
Selebihnya,
Salam to be continued…,

Minggu, 27 Juni 2010

Pelatihan II (RPJM Desa)

Pelatihan ini berlangsung selama 3 hari di wisma Berkah, 22 - 24 Juni 2010. Prof. Dr. Darmawan Salman, MS. Seperti biasa hadir memberi materi terkait teknostruktur dan produk unggulan desa (one village one product) ....to be continued...

Jumat, 11 Juni 2010

Pemetaan Sosial Khas Bangun Mandar

Tulisan ini juga termuat di harian pagi Radar Sulbar, 3 (tiga) edisi berturut-turut. Selasa, Rabu, dan Kamis (8, 9, 10 Juni 2010). Juga termuat di http://www.majenekab.go.id

Ada sebuah ungkapan yang sangat menyentuh rasa dan qalbu penulis yang terungkap dari salah seorang warga desa dampingan Faskom yang menarik dicermati terkait hasil pemetaan sosial. Menurut beliau, di desa ini sudah puluhan kali kami tidak lagi melakukan shalat jumat berjamaah di masjid. Di samping karena tidak ada yang berinisiatif menyelenggarakan juga karena pemahaman warga masih kurang terkait hukum shalat jumat berjamaah itu.

Hal menarik lainnya, selama sekolah dasar kecil di dusun ini didirikan belum pernah diadakan upacara bendera yang melibatkan siswa dan staf pengajar. Maka sangat wajar kalau tidak seorang siswa pun, yang jumlahnya sekitar 30 (tiga puluh) anak yang terdiri atas tiga kelas dengan sebaran siswa bervariasi dari kelas I – kelas VI, yang bisa hafal lagu pengantar ketika mengheningkan cipta dan lagu Indonesia Raya. Apalagi tahu dan paham proses pelaksanaan upacara bendera yang lazimnya dilaksanakan anak seusia mereka di sekolah lain.

Dua ungkapan tulus warga di atas terasa sangat ironis dan mencerminkan sedemikian tertinggalnya akses informasi dan pemahaman mereka terhadap kehidupan luar sana yang penuh warna dan hiruk pikuk kehidupan yang serba dinamis. Kehadiran Faskom kemudian menjadi sangat bermakna sebagai pemicu dan penggerak terjadinya proses transformasi sosial.

Berkat inisiasi dan inisiatif Faskom bersama beberapa tokoh masyarakat, maka warga di sana kembali melaksanakan shalat jumat secara berjamaah di masjid yang rupanya sudah sangat lama mereka rindukan. Hal yang sama pernah mereka lakoni sebelum Ramadhan tahun lalu, namun terhenti dengan sendirinya karena tidak ada orang atau pihak yang menggerakkan hal tersebut.

Demikian halnya sekolah dasar kecil tadi, siswa yang tadinya lebih banyak berkeliaran karena ketidakhadiran guru lambat laun teratasi dengan terjun langsungnya Faskom memfasilitasi agar proses belajar mengajar tetap berjalan di sekolah tersebut. Termasuk mencoba menyadarkan kepada siswa tentang pentingnya arti sebuah aktivitas bernama upacara bendera.

Kondisi di atas tentunya hanyalah salah satu gambaran realitas yang terjadi di salah satu desa dampingan Bangun Mandar. Realitas yang sama dengan masalah yang berbeda tentunya juga berpotensi terjadi di 65 lokasi dampingan lainnya. Di sinilah dituntut kepiawaian seorang Faskom dalam melakukan dan memanfaatkan hasil pemetaan sosial sebagai ‘amunisi’ dalam melakukan sentuhan-sentuhan penyadaran dan pemberdayaan sejati dengan tetap pada prinsip tidak mengambil alih ranah belajarnya masyarakat.

Masyarakat tetap harus diberi ruang yang lebih besar dalam melakukan proses perubahan seperti yang mereka impikan, Faskom sebatas memfasilitasi percepatan proses perubahan tersebut. Semua proses fasilitasi tadi berawal dari hasil kajian pemetaan sosial yang dilakukan Faskom sebelum menyusun strategi yang pas dalam melakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat.

Pemetaan sosial secara sosiologis dan filosofis bertujuan untuk memetakan kondisi sosial budaya suatu masyarakat dalam wilayah tertentu yang berguna untuk perencanaan program. Pemetaan sosial dalam konteks Bangun Mandar sebenarnya adalah semacam orientasi awal Faskom di wilayah dampingannya sebelum kegiatan sosialisasi awal yang dilakukan sendiri oleh fasilitator untuk kepentingan strategi pendampingan.

Hasil kongkrit dari kegiatan pemetaan sosial adalah data dan informasi awal mengenai kondisi sosial budaya setempat termasuk di dalamnya kelompok sosial di masyarakat dan kelompok yang berpengaruh baik laki-laki maupun perempuan, yang akan menjadi dasar dalam menentukan strategi pendampingan dan strategi sosialisasi. Kegiatan pemetaan sosial merupakan titik masuk program, oleh karenanya penting untuk membangun kepercayaan masyarakat dengan memberikan pemahaman tentang identitas, maksud kedatangan, dan tujuan program.

Prinsip santai dan informal menjadi sebuah keharusan dalam melakukan pemetaan sosial ini. Faskom bisa memanfaatkan media-media pertemuan informal seperti; waktu luang masyarakat di sela-sela kerjaan di kebun atau di sawah, di pos ronda, di warung, di tempat dimana biasanya masyarakat menghabiskan waktu santainya setelah seharian mencari nafkah dan tempat-tempat informal lainnya. Dengan demikian diharapkan muncul kesadaran kritis masyarakat bahwa pemetaan sosial demi kepentingan masyarakat dan bukan sekedar kepentingan laporan program semata-mata. Format isian hanyalah sebuah instrumen, yang lebih utama adalah proses penggalian informasinya harus efektif di masyarakat, jadi Faskom sangat diharapkan tidak terjebak bahwa kegiatan pemetaan sosial menjadi kegiatan pengisian format semata-mata.

Masyarakat desa merupakan sebuah entitas sosial. Dimana interaksi sosial terjadi dan membentuk pola hubungan sosial di dalam struktur kemasyarakatan. Ada berbagai modal sosial, simpul sosial, dan stratifikasi sosial yang secara keseluruhan akan menentukan bentuk hubungan sosial di tengah masyarakat. Pola hubungan sosial pada dasarnya ditentukan oleh motif sosial, baik berupa kepentingan maupun digerakkan oleh nilai-nilai yang pada akhirnya akan menentukan pola, sikap, dan perilaku masyarakat di dalam melakukan aktivitas sosialnya.

Bangun Mandar dalam kerangka pelaksanaannya bertujuan menggagas sebuah proses keberlanjutan program oleh masyarakat secara mandiri, maka unsur perubahan dari dalam diri masyarakat merupakan acuan utama. Perubahan dari dalam diri masyarakat dilakukan dengan proses penggalian nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini ada dan tumbuh terus di tengah-tengah masyarakat. Kearifan lokal dimaksud antara lain; sikap gotong royong, saling mempercayai, saling peduli, sikap egaliter, dan mengedepankan nilai-nilai sipamandar atau sipamanda’ dalam menyelesaikan setiap masalah yang ada di wilayahnya masing-masing.

Untuk itu, semua pelaku Bangun Mandar, khususnya Faskom harus tahu dan paham budaya masyarakat yang didampingi khususnya nilai-nilai yang dianut, hubungan sosial yang terjadi dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan. Agar tahu dan paham budaya masyarakat setempat, Faskom perlu melakukan satu siklus khusus yang menjadi ‘mainan’ bersama masyarakat dalam mengawali proses membangun kesadaran kritis yang kita kemas dengan istilah Pemetaan Sosial (Social Mapping).

Proses pemetaan sosial mengarahkan tergalinya secara santai nilai-nilai dominan yang dianut masyarakat. Termasuk modal sosial yang mampu mendorong proses transformasi dari dalam diri mereka sendiri. Dengan demikian beberapa hal terkait proses pemetaan sosial ini akan menjadi menarik dan menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang arti penting kehadiran program yang dikawal oleh Faskom bersama semua stakeholder Bangun Mandar.

Selain itu, tergali pula karakteristik masyarakat, khususnya dalam menyikapi intervensi sosial berwujud rekayasa sosial dan pembelajaran sosial. Pola informasi dan komunikasi yang terjadi di tengah masyarakat, baik penyebaran informasi maupun dalam kerangka pembelajaran. Media-media apa dan sumber belajar apa yang digunakan dan diyakini masyarakat sebagai sarana informasi dan pembelajaran. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah berbagai faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku masyarakat baik yang positif maupun yang negatif.

Secara sederhana hasil yang akan diperoleh dari proses pemetaan sosial ini dirangkum dalam sebuah kerangka data dan informasi yang tertuang dalam bentuk data demografi. Data demografi ini akan memuat data jumlah penduduk, komposisi penduduk menurut usia, mata pencaharian, agama, pendidikan, dan sebagainya. Kemudian data geografi, di sini akan tertuang semua hal terkait topografi, letak lokasi ditinjau dari aspek geografis, aksesibilitas lokasi, dan pengaruh lingkungan geografis terhadap kondisi sosial masyarakat.

Adapun data psikografi akan banyak memuat data tentang nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut, mitos, kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, karakteristik masyarakat, pola hubungan sosial yang ada, motif yang menggerakkan tindakan masyarakat, pengalaman masyarakat, pandangan dan sikap perilaku terhadap intervensi dari luar, serta kekuatan sosial yang paling berpengaruh.

Dan akhirnya, pola komunikasi. Pola komunikasi ini akan merekam media yang dikenal dan digunakan, bahasa, kemampuan baca tulis, orang yang dipercaya, informasi yang biasa dicari, tempat memperoleh informasi, dan pola-pola komunikasi lainnya.

Model pendekatan yang digunakan dalam proses pemetaan sosial ini ada dua macam. Pertama, pengumpulan data sekunder diambil dari kantor desa, kantor kecamatan, atau bahkan di kabupaten. Datanya bisa dari foto, monografi desa, dan dokumen-dokumen laporan yang ada di desa. Kedua, pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara berstruktur kepada anggota masyarakat yang dianggap mengetahui informasi yang diperlukan (Kepala Desa, Ketua BPD, pimpinan lembaga lokal, pemuka masyarakat, dan pemuka agama). Kemudian observasi (pengamatan langsung) terhadap kondisi-kondisi lingkungan fisik, lingkungan sosial, hubungan sosial, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat.

Proses menemukenali secara santai dan nyaris bernuansa silaturahmi (dikemas dalam istilah pemetaan sosial) tadi tentunya membutuhkan waktu yang relatif lama (kurang lebih sebulan) dalam pelaksanaannya. Di samping itu, kapasitas seorang Faskom dalam melakoni proses santai ini tentunya juga sangat menentukan keberhasilan penggalian informasi yang valid dan konsisten. Validitas sebuah hasil analisis ringan menjadi sebuah keniscayaan dalam memetakan kondisi sosial budaya suatu masyarakat yang nantinya dimanfaatkan sebagai basis perencanaan program.

Selebihnya, selamat bagi yang telah menikmati proses pemetaan sosial ‘secara santai’ khususnya masyarakat dampingan Bangun Mandar dan sukses bagi para Faskom yang sebentar lagi akan melewati siklus refleksi dan penyadaran kritis. Sementara pada saat yang hampir bersamaan, siklus pemetaan potensi R-O-N sedang menanti di depan mata.

Minggu, 23 Mei 2010

Eksistensi Fasilitator Komunitas Bangun Mandar

Tulisan ini termuat di koran Harian Pagi Radar Sulbar edisi Senin, 24 Mei 2010 dan juga bisa diakses di http://www.majenekab.go.id/


Tulisan ini terinspirasi oleh dua momen penting terkait tugas dan fungsi seorang fasilitator komunitas (Faskom) di wilayah dampingannya masing-masing. Pertama, hasil kunjungan kerja Bapak Gubernur ke Kabupaten Mamasa, kebetulan penulis ikut dalam salah satu rombongan menyusuri jalan dari arah Tabulahan ke Mamasa. Kedua, hasil uji petik Bapak Wakil Gubernur bersama asisten I dan asisten II pada 2 (dua) desa sasaran Bangun Mandar di Kabupaten Mamuju.

Perjalanan menyusuri berbagai rintangan alam dan beberapa fasilitas infrastruktur darurat di beberapa titik, memaksa kami melintasi kurang lebih 3 sungai kecil yang belum ada jembatannya dan jalan tanah yang masih sangat labil strukturnya. Perjalanan ini sangat menantang dan sayang kalau terlewatkan. Sepanjang perjalanan penulis senantiasa berpikir sedemikian menantangnya tugas seorang fasilitator yang harus menyusuri pelosok-pelosok kampung dengan fasilitas jalan yang sangat terbatas.

Kondisi itu tentunya juga ada di beberapa lokasi dampingan lainnya. Belum hilang dalam pikiran bayangan-bayangan tadi, tiba-tiba penulis melihat selintasan di kaca spion mobil yang kami kendarai, secara beriringan 4 (empat) Faskom sementara berjuang mengendalikan motor masing-masing dan bergumul dengan lumpur jalan manapaki jejak bekas ban mobil yang sudah relatif rata, ini sungguh luar biasa. Kebetulan arah tujuan kami sama dan sudah menjadi kesepakatan bersama supervisor kabupaten untuk memanfaatkan momen ini sebagai ajang konsolidasi internal tim.

Di kota Mamasa, bersama supervisor kabupaten, kami melakukan konsolidasi internal terkait capaian dan kendala lapangan. Terjelaskan oleh beberapa Faskom bahwa saat ini mereka sudah sampai pada tahapan siklus refleksi dan penyadaran kritis serta proses sosialisasi pemetaan potensi sumber daya, pengorganisasian masyarakat, dan norma-noram/aturan-aturan lokal yang ada di masyarakat.

Beberapa hal yang perlu terpahami oleh setiap pelaku dan masyarakat dampingan program Bangun Mandar adalah, bahwa tidak ada yang terlalu baru dari program ini dibandingkan program yang sudah ada dan sementara berjalan kecuali adanya upaya pemerintah memaksimalkan keterlibatan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan apa yang menjadi kebutuhan berdasarkan potensi dan masalah yang ada di masing-masing desanya.

Proses menemukenali kebutuhan ril, masalah, dan potensi itu tentunya membutuhkan proses fasilitasi berupa pengorganisasian masyarakat. Faskom dihadirkan oleh pemerintah dalam rangka mensinergikan semua potensi yang ada, baik itu potensi dari pemerintah maupun potensi yang ada dalam masyarakat. Tahun ini, pada masing-masing SKPD teralokasikan beberapa program yang menjadi stimulan terjadinya proses menemukenali organisasi masyarakat warga dan aturan-aturan yang memudahkan masyarakat mengakses program tersebut.

Aktivitas itu tidak dalam bentuk dana langsung melainkan dalam bentuk program. Secara kongkrit, Faskom hadir memfasilitasi tersampaikannya program SPKD yang ada tahun ini dan masyarakat termudahkan mengakses program dengan legitimasi lembaganya yang terpercaya.

Pada saat yang sama Faskom juga memfasilitasi proses perencanaan program versinya masyarakat, mulai dari tingkat dusun sampai ke tingakt desa. Keluaran dari proses perencanaan ini adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa). Dokumen RPJM ini pula yang akan menjadi acuan SKPD dalam mengalokasikan program kerjanya di lokasi sasaran Bangun Mandar tahun berikutnya. Harapan akhir dari semua fasilitasi itu adalah adanya sinergi kongkrit antara perencanaan dari pemerintah dan perencanaan dari masyarakat.

Agar semua harapan itu bisa terfasilitasi dengan baik, tidak hanya sekedar jargon pembangunan berlabel partisipatif yang pada kenyataannya proses fasilitasinya hanya sedang mengukir sebuah prasasti kegagalan yang akan dikenang oleh masyarakat Sulbar sepanjang masa, maka keberadaan seorang aktivis pemberdayaan handal yang dibungkus dengan istilah Faskom yang memiliki kapasitas, integritas, dan komitmen pemberdayaan sejati menjadi sebuah keharusan dalam program Bangun Mandar.

Faskom sebagai ujung tombak keberhasilan proses fasilitasi pelaksanaan siklus pemberdayaan di 66 desa/kelurahan sasaran tahun 2010 ini harus memiliki jiwa inovatif. Inovasi itu diperlukan mengingat tantangan lokasi dan sebaran warga yang sangat variatif.

Faskom handal adalah Faskom yang memaknai tugas ini sebagai panggilan jiwa. Bukan sekedar untuk mendapat imbalan finansial melainkan untuk menjalankan fungsi sosial kita sebagai hamba Allah (bermakna ibadah). Sehingga dengan cara pandang seperti itu menimbulkan motivasi yang tinggi untuk tidak sekedar menjadi fasilitator program yang menyelesaikan tugas dan membuat laporan tetapi menjadi bagian dari proses terjadinya perubahan ke arah kebaikan di masyarakat dampingan sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Meminjam ungkapan salah seorang warga di sebuah kampung yang sempat terkunjungi, kurang lebih seperti ini: “Lebih baik menjadi orang yang tidak dikenal tetapi berbuat sesuatu yang bermanfaat, daripada orang yang dikenal namun tidak berbuat apapun”.

Sebagai seorang agen perubahan sosial maka ada 3 (tiga) fungsi utama yang mutlak dimiliki oleh seorang Faskom. Pertama, fungsi fasilitasi. Faskom diamanahi tugas untuk membuat sesuatu berjalan dengan baik dilandasi kesadaran penuh. Kedua, fungsi mediasi, Faskom menjembatani beberapa pihak untuk dapat bekerjasama secara sinergis. Ketiga, fungsi advokasi, pada intinya mengajak masyarakat yang diadvokasi untuk berpikir seperti dia yang mengadvokasi.

Ketiga fungsi tersebut dalam prakteknya saling komplementer, misalnya pada saat mediasi juga akan terjadi proses fasilitasi ketika beberapa pihak bertemu dan advokasi ketika ada hal-hal yang masih perlu disepahamkan. Tentu saja kondisi di atas baru bisa fungsional ketika Faskom menetap dan berbaur bersama masyarakat secara total.

Ketika, Faskom hanya datang pada saat dibutuhkan saja atau sekedar ‘setor muka’ ketika akan ada laporan yang akan disampaikan ke supervisor atau ke kepala desa, maka yakinlah akan terjadi disfungsional dan lagi-lagi kita sedang berkontribusi merencanakan sebuah kegagalan dan kebocoran anggaran pembangunan.
Agar kegalalan perencanaan tersebut tidak sampai terjadi, maka kode etik fasilitator juga menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Faskom berperan strategis sebagai penggerak dan pendorong terjadinya proses transformasi sosial. Untuk itu, Faskom BM dituntut untuk menjunjung tinggi kode etik profesi sebagai berikut :

Pertama, berorientasi pada kepentingan dan tujuan program secara keseluruhan bukan pada kepentingan dan tujuan pribadi, kelompok atau golongan. Ini termaknai bahwa program ini tidak diperuntukkan bagi kepentingan perseorangan apalagi kepentingan politik tertentu. Program ini dirancang untuk senantiasa berpihak pada masyarakat miskin dan terpinggirkan. Oleh karena itu, Faskom benar-benar harus melayani masyarakat dan tidak sesekali minta dilayani masyarakat. Apalagi memberikan ‘janji – janji ‘ muluk kepada masyarakat dan meminta atau menerima imbalan dari masyarakat.

Kedua, berorientasi pada kemandirian masyarakat agar mampu menangani persoalan kemiskinan dan ketertinggalan dengan potensi yang dimilikinya dan tidak menciptakan ketergantungan masyarakat pada fasilitator maupun pada keberadaan atau bantuan dari pihak-pihak di luar masyarakat. Ini juga termaknai bahwa Faskom harus senantiasa berupaya merangkul berbagai pihak ke dalam iklim kemitraan, kebersamaan, kesatuan, dan tidak menciptakan pengkotak-kotakan maupun menunjukkan sikap diskriminasi.

Ketiga, Berorientasi pada prinsip-prinsip kemasyarakatan dan prinsip-prinsip nilai kemanusiaan. Ini termaknai bahwa tidak ada satu daerah pun yang maju dan keluar dari kemiskinan dan ketertinggalannya bila tidak menjunjung tinggi prinsip-prinsip partisipasi, demokrasi, transparansi, akuntabilitas dan desentralisasi. Di samping itu, menjunjung tinggi nilai – nilai lokal kemasyarakatan seperti dapat dipercaya, jujur, ikhlas, adil, setara dan kebersamaan dalam keragaman. Karena esensi dan eksistensi secara filosofis sosiologis sebuah kemiskinan dan ketertinggalan justru ada pada masyarakat yang belum mampu menerapkan prinsip-prinsip kemasyarakatan dan prinsip-prinsip kemanusiaan di atas.

Sebagai penutup tulisan singkat ini, selamat kepada para insan yang memilih profesi sebagai fasilitator masyarakat apapun bentuknya, dan terkhusus selamat berjuang para Faskom Bangun Mandar, teruslah menjadi aktivis pemberdayaan sejati yang berorientasi ‘qalbu’ yang mengedepankan proses dan bukan pada target.

Rabu, 12 Mei 2010

Bangun Mandar sebuah Alternatif Inovasi dan Solusi Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Sulbar

Tulisan ini juga bisa dibaca Harian Pagi Radar Sulbar 2 edisi berturut-turut ; Senin & Selasa, 3 - 4 Mei 2010 dan bisa diakses di http://www.majenekab.go.id/


“Kehadiran Fasilitator Komunitas (Faskom) di kampung kami menjawab kerinduan masyarakat yang selama ini sangat menantikan sentuhan pemberdayaan masyarakat dalam proses memajukan desa dan warga kami”. Demikian kurang lebih ungkapan tulus seorang warga menerima kehadiran Faskom Bangun Mandar (Gerakan Pembangunan Desa Mandiri berbasis Masyarakat) di desa mereka.


Penyelenggaraan pembangunan di provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) telah mencapai sejumlah kemajuan dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai infrastruktur terkait transportasi, perhubungan, komunikasi, dan energi secara bertahap mengalami perbaikan. Pembangunan manusia terkait pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat semakin menunjukkan indikasi perbaikan.

Meskipun demikian, hasil-hasil yang telah dicapai tersebut dinilai masih kurang significant, utamanya gambaran terhadap realisasi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Hal itu disebabkan kegiatan pembangunan selama tiga tahun ini belum fokus dan terkonsentrasi pada sektor-sektor dan daerah-daerah yang seharusnya diprioritaskan.
Sejak awal terbentuknya Provinsi Sulbar berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004, lima kabupaten (Mamuju, Mamuju Utara, Mamasa, Majene, dan Polman) terkategorikan daerah tertinggal sehingga sebagian besar desanya juga merupakan desa tertinggal. Beberapa data di bawah ini menunjukkan kemajuan yang dicapai oleh Pemerintah Provinsi Sulbar.

Salah satu tantangan yang dihadapi pembangunan ke depan adalah penanggulangan kemiskinan. Sulbar sebagai provinsi baru, menghadapi masalah yang relatif lebih berat dalam penanggulangan kemiskinan dibandingkan daerah lain, mengingat realitas ketertinggalan yang dialami pada awal pembentukan/pemisahannya dari Provinsi Sulawesi Selatan. Karena itu, sebuah upaya yang terfokus pada penanggulangan kemiskinan menjadi keniscayaan dalam pembangunan ke depan.

Dalam RPJM 2006-2011, strong point pembangunan Sulbar diletakkan pada penanggulangan kemiskinan. Untuk mengakselerasi target pencapaian penanggulangan kemiskinan pada 2009 – 2011, sebuah upaya komprehensif dan terfokus diperlukan dengan melibatkan semua stakeholder pembangunan di Sulbar. Pemerintah daerah dalam perannya sebagai pengambil kebijakan dan menjalankan fungsi pemerintahan, pelayanan dan pemberdayaan, memiliki keniscayaan dalam menginisiasi penanggulngan kemiskinan yang komprehensif dan terfokus tersebut.

Adalah sebuah kebenaran bahwa tertanggulanginya kemiskinan tidak bisa diharapkan tuntas melalui dorongan pertumbuhan ekonomi semata. Terdapat batas kemampuan dari pertumbuhan ekonomi untuk bisa ‘berefek menetes ke bawah’ bagi keluarnya rumah tangga miskin dari perangkap kemiskinannya. Karena itu, diperlukan pendekatan selain pertumbuhan ekonomi tersebut, dalam hal ini pemberdayaan masyarakat. Artinya, bila dorongan pertumbuhan ekonomi yang telah diupayakan di Sulbar selama ini dikomplementasi dengan pemberdayaan masyarakat, maka penanggulangan kemiskinan diekspektasi akan lebih efektif.

Dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, upaya penaggulangan kemiskinan lebih difokuskan pada peningkatan kemampuan dan perbaikan kelembagaan yang memungkinkan orang miskin bersama komunitasnya lebih dapat meningkatkan potensi diri dan lingkungannya dalam memecahkan masalahnya dan kebutuhannya. Fokus dari pemberdayaan bukan hanya perubahan pada orang miskin tetapi juga perubahan pada lingkungannya baik terkait sumberdaya maupun kelembagaan.

Lingkungan terkecil dari realitas kemiskinan di Indonesia adalah desa. Pada tingkat desa realitas kemiskinan terkonstruksi unsur-unsur lokalitasnya, selanjutnya desa tersebut berinterkoneksi dengan desa lainnya. Gambaran ini membawa pemahaman bahwa sebuah daerah pada hakikatnya adalah jalinan interkoneksi lokalitas-lokalitas desa, dan dibalik jalinan interkoneksi itulah kemiskinan terjelmakan.

Di Sulbar, sebagian besar desa merupakan desa tertinggal yang didalamnya kemiskinan termanifestasikan. Desa-desa tertinggal tersebut tersebar di seluruh Kabupaten baik pada wilayah dataran tinggi berciri desa perladangan, wilayah dataran rendah berupa desa padi sawah dan perkebunan rakyat, maupun wilayah pesisir berupa desa pantai. Karena itu, dalam penanggulangan kemiskinan, pendekatannya tidak hanya meniscayakan pemberdayaan masyarakat, tetapi juga pendekatan pemandirian desa. Dengan sinergi pemberdayaan masyarakat dan pemandirian desa, yang didalamnya berinterkoneksi unsur manusia, kelembagaan dan sumberdaya, dapat diekspektasi terkembangkannya teknostruktur lokalitas desa dalam mengelola potensi lokalitasnya.

Gerakan Bangun Mandar sebagai sebuah inovasi pembangunan pada tingkat provinsi diharapkan dapat berjalan secara bersama dan mendukung upaya tingkat pembangunan kabupaten untuk mengefektifkan upaya penanggulangan kemiskinan berbasis kemandirian desa dalam menghasilkan produk unggulan sesuai potensinya melalui sinergi antara program pemerintah daerah dengan fasilitasi keberdayaan masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, sasaran yang ingin dicapai melalui Bangun Mandar adalah:

1.Meningkatkan teknostruktur (teknologi dan kemampuan ) masyarakat desa dalam mengelolah potensi desanya sesuai tuntutan dinamika perubahan.
2.Berkembangnya kelembagaan (organisasi dan aturan main yang mengarahkan kebersamaan dalam pencapaian tujuan bersama) tingkat desa yang memberi ruang bagi akses dan kontrol orang miskin baik laki-laki maupun perempuan dalam pengelolaan sumberdaya internal desa.
3.Terbukanya jaringan kelembagaan desa dalam mengakses sumberdaya dan memasarkan produk pada tingkat desa.
4.Efektifnya pencapaian hasil program SKPD dalam mewujudkan visi daerah dan mendukung keberdayaan masyarakat di sisi lainnya.

Adapun luaran untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut adalah :
1.Dokumen perencanaan program/kegiatan pembangunan pada tahun 2010 yang terwarnai dengan upaya pemberdayaan masyarakat sesuai karakteristik program/kegiatan tersebut untuk diimplementasikan pada lokasi-lokasi desa tertinggal.
2.Dokumen perencanaan fasilitasi desa-desa tertinggal berbasis pembelajaran sosial untuk pemberdayaan masyarakat dilengkapi kerangka sinerginya dengan program/kegiatan SKPD tingkat provinsi yang berbasis rekayasa sosial untuk tahun 2011.
3.Dokumen kerangka monitoring dan evaluasi program dan kegiatan untuk tahun 2010 dan 2011.

Agar semua elemen masyarakat dan elemen pembangunan yang terlibat dalam program Bangun Mandar dapat lebih efektif berkonstribusi positif, pemahaman terhadap sejumlah konsep dan kerangka yang melatari Bangun Mandar menjadi penting dilakukan.

Kerangka Konseptual dan Substansi Bangun Mandar

Terpahami secara umum bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sebuah rumah tangga memiliki tingkat pendapatan di bawah standar yang memungkinkannya hidup layak secara manusiawi. Di dalam memanifestasikan mata pencaharian, sebuah rumah tangga pada dasarnya merupakan sumberdaya sekaligus unit kegiatan. Sebuah rumah tangga, selain memiliki sumberdaya manusia, fisik, keuangan, dan teknologi juga menjalankan aktifitas produksi, konsumsi dan manajemen. Dengan demikian, kemampuan mata pencaharian sebuah rumah tangga merupakan hasil kombinasi antara elemen sumberdaya dan aktivitas ke dalam elemen rumah tangga.

Dalam Program Bangun Mandar, selain memahami realitas kemiskinan berdasarkan perspektif yang diacu berbagai program penanggulangan kemiskinan yang ada di Indonesia selama ini. Beberapa perspektif inovatif juga di jadikan sebagai acuan konseptual seperti uraian berikut ini.

Tiga Unsur Pembangunan (R-O-N)

Dalam pembangunan alamiah suatu tatanan, ataupun dalam perubahan yang direncanakan pada tatanan tersebut, pada dasarnya selalu melibatkan 3 (tiga) unsur yakni : sumberdaya, organisasi, dan norma-norma yang saling komplementer satu sama lain. Sumberdaya (Resources/ R) adalah suatu unsur yang dikelola dalam berjalannya sebuah perubahan, mencakup sumberdaya fisik (alam dan buatan) finansial dan teknologi. Organisasi (Organization/O) adalah unsur yang mengelola sumberdaya tersebut, dimana organisasi adalah agregasi berbagai unsur dalam berbagai pola. Norma (Norms/N) adalah aturan/prinsip-prinsip nilai yang menjadi acuan bagi pelaku dalam mengelola sumberdaya.

Suatu tatanan dan perubahan alamiah secara garis besar melibatkan hubungan komplementatif R-O-N yang polanya tersesuaikan secara dinamis dari waktu ke waktu. Tatanan tersebut mampu menyesuaikan pola R- O- Nnya secara dinamis untuk menangkap peluang dan beradaptasi dengan lingkungan strategisnya, maka semakin berkembang tatanan tersebut. Sebaliknya, bila tatanan tersebut lemah dalam menyesuaikan pola komplementasi R-O-Nnya, maka ia akan tertinggal oleh perubahan.

Pembangunan Sektoral


Pemberdayaan masyarakat melalui penerapan pendekatan partisipatoris memerlukan komplementasi dengan pembangunan sektoral dalam mewujudkan kemajuan lokalitas dan daerah secara efektif. Untuk itu, pembangunan sektoral yang dijalankan secara top down oleh SKPD tetap memiliki urgensi sebagai komplementer atas keberdayaan masyarakat.

Peran SKPD yang menghantarkan sumberdaya untuk pembangunan infrastruktur, budidaya dan pengolahan pertanian, peternakan dan perikanan, pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengembangan koperasi dan UKM dan lain-lainnya, menempati porsi besar dalam konteks ini. Bila pemberdayaan masyarakat dilahirkan oleh pembenahan O dan N yang lebih dominan, pembangunan sektoral dilahirkan oleh penghantaran sumberdaya yang dominan. Dengan itulah sinergi R-O-N dapat dihasilkan secara efektif.

Teknostruktur Desa dan Produk Unggulan Lokalitas

Sinergitas atas pemberdayaan masyarakat dengan pembangunan sektoral pada arena pembangunan tingkat desa, pada gilirannya diekspektasi untuk mewujudkan desa sebagai entitas mandiri yang memiliki teknostruktur yang kuat dan produk spesifik yang berdaya saing sesuai level areanya.

Teknostruktur desa (dimaksudkan sebagai kelembagaan yang kuat di dalamnya berlaku nilai/aturan yang terpatuhi oleh setiap warga desa demi kebersamaan, lalu warga tersebut terorganisir satu sama lain dalam mengelola sumberdaya yang ada secara terpadu dengan pemanfaatan teknologi yang berkembang terus sesuai dinamika perubahan, dan pada akhirnya menghasilkan sinergi kekuatan kelembagaan dengan kemajuan teknologi) akan menghasilkan produk unggul berbasis sumberdaya lokalitasnya. "One Village One Product".

Pada akhirnya, beberapa hal penting perlu digarisbawahi dalam paparan di atas adalah. Pertama, Program Bangun Mandar yang ‘asli’ digagas oleh Pemerintah Provinsi Sulbar merupakan salah satu inovasi cerdas dalam upaya penanggulangan kemiskinan menuju desa mandiri berbasis masyarakat. Gagasan ini diharapkan berhasil menorehkan sebuah proses penyadaran kritis yang membangkitkan sinergitas antara pemberdayaan masyarakat di satu sisi dan pemberdayaan pemerintah daerah pada sisi lain. Bahwa kemudian ke depan, gagasan ini menjadi model nasional upaya penanggulangan kemiskinan pada wilayah-wilayah (desa) tertinggal lainnya di Indonesia, itu hal lain.

Kedua, dalam implementasi Bangun Mandar, peran fasilitator bukan hanya sebagai pendamping komunitas yang sepenuhnya berproses sesuai dinamika netralitas partisipasi, ia juga berperan sebagai pendamping komunitas yang menganalisis anatomi lokalitasnya, sehingga efek penguatan lokalitas desa di balik perencanaan dan implementasi partisipatoris yang didorong kemudian terkontekskan pada arah perubahan lokalitas.

Ketiga, bahwa dalam Bangun Mandar, Faskom tidak hanya mendampingi proses pemberdayaan masyarakat sebagai inner system, namun ia juga dituntut membantu SKPD dengan dukungan data atau informasi desa dalam memfasilitasi bertemunya program sektoral SKPD dengan aspirasi dan keberdayaan masyarakat. Dengan itu, perubahan yang difasilitasi bukan hanya keberdayaan masyarakat, tetapi perubahan sistem desa dan daerah sebagai totalitas, sebuah pemberdayaan lokal.

Sebagai penutup tulisan ini, ada pernyataan menarik dan menggugah olah rasa dan olah pikir kita yang terungkap dari salah seorang Faskom masyarakat Desa Bambang (Kec. Bambang Kab. Mamasa) seperti yang diungkapkan warga masyarakat ketika pertama kali dia tiba di daerah tersebut: “Dengan kehadiran Bapak selaku Faskom di daerah ini, kami merasa Pak Gubernur sudah tiba di desa kami, terima kasih banyak Pak”.

Rabu, 28 April 2010

Pelatihan Lanjutan 1


Setelah kurang lebih sebulan para kawan-kawan Faskom di lapangan melakukan sosialisasi Bangun Mandar dan program SKPD tahun 2010 serta proses pemetaan sosial. Kita akan berkongkow-kongkow lagi pada 3 - 6 Mei di Kota Mamuju. (to be continued...)

Mobilisasi Faskom BM


Mobilisasi dilakukan pada 10 April 2010