Senin, 11 Juli 2011

Orang Sakit dilarang Miskin (Sebuah Catatan Reflektif )

Pengalaman ini langsung mengingatkan penulis pada kejadian tempo hari yang dialami seorang ibu dari sebuah desa nun jauh di pelosok hutan lindung Mamuju sana. Si ibu yang baru saja melahirkan terpaksa dibawa ke rumah sakit karena plasentanya masih tertinggal di dalam rahim selama tiga hari. Menurut seorang kawan (ahli medis), plasenta itu seharusnya keluar semua karena kalau tidak akan terjadi infeksi. Kondisi itu sangat bisa termaklumi karena pertolongan medis pertama hanya dilakukan secara sangat sederhana oleh seorang dukun beranak di kampung. Untuk mencapai fasilitas pelayanan medis (seperti yang dibayangkannya) sang ibu harus di tandu sejauh kurang lebih 23-an km melintasi perbukitan bahkan pegunungan dan beberapa anak sungai dan sebuah sungai selebar seratus meter.

Kondisi tersebut sudah sempat penulis napak tilasi bersama rekan lainnya beberapa waktu yang lalu. Dan, jaraknya memang sangat luar biasa. Terbayang bagaimana sang ‘pejuang sejati’ ibu menahan rasa sakit dan perjalanan yang sangat melelahkan dan penuh risiko. Kontradiktifnya, sesampainya di rumah sakit, si Ibu bukannya langsung memperoleh pelayanan medis, melainkan direpotkan dengan berbagai macam persyaratan yang cenderung mengada-ada. Nah, kaitan dengan cerita orang miskin dilarang sakit itu begini ceritanya.

Dua tahun terakhir ibu kami tercinta (adik-adik familiar memanggilnya mama') sering mengalami sakit (faktor usia menjadi salah satu penyebabnya). Kamis kemarin (31 Maret 2011) dalam perjalanan kunjungan lapangan ke kabupaten Polman dan kabupaten Mamasa seorang adik di Makassar mengirimkan pesan singkat yang isinnya mengabarkan kalau ibu merasa kurang enak badan. Sementara di depan forum monitoring sosialisasi program yang dihadiri beberapa SKPD, para camat dan kepala desa sasaran BangunMandar, saya menyempatkan membalas sms dimaksud (mumpung belum giliran bicara). Isi balasannya, menyarankan agar ibu segera dibawa ke dokter praktek.Sebenarnya ini tergolong kurang sopan 'hampir' sama tidak sopannya ketika salah seorang anggota dewan di senayan sana yang membuka-buka kiriman email saat sidang paripurna, apapun itu isinya. Forum sempat naik suhunya di awal acara, namun dengan kedewasaan dan sikap yang sangat 'mandar' mengantarkan semua audiens pada suasana yang sangat sejuk.

Acara di Polman usai dalam suasana batin saya yang setengah fokus. Kami kemudian segera melanjutkan perjalanan ke Mamasa. Perjalanan ke Mamasa luar biasa menyita energi karena kondisi jalan yang kurang bersahabat. Kondisi jalannya sangat kontras dengan sepanjang jalan yang kami lalui ketika masih berada di wilayah Polman. Beruntung karena kondisi jalan yang sangat parah (terbayang kalau turun hujan dijamin mobil sejuta umat yang kami tumpangi, avanza, red., tidak akan sanggup mencengkramkan bannya melintasi lumpur sedalam lutut orang dewasa tersebut) bisa terobati dengan pemandangan alam yang sangat indah. Sepanjang jalan dipenuhi pegunungan dan hutan yang masih lumayan perawan. Kita seolah sementara ada di atas pesawat berpenumpang enam orang plus pilot dan co pilot. Jurang yang dalam dan udara hutan yang sangat sejuk seolah membawa kami ke suasana perjalanan dari kota Padang ke Bukit Tinggi. Kedalaman jurang sempat teranalogikan oleh seorang kawan yang duduk di sebelah saya; "Om Bush, kalau mobil kita terperosok ke jurang ini, maka kita perlu menyayikan tujuh kali lagu Indonesia Raya baru bisa sampai ke dasar jurang."Upss!!!

Kondisi jalan mengantarkan kami pada suasana goyang bollywood ala Briptu Norman 'caiyya-caiyya' Kamaru sepanjang perjalanan. Menjelang magrib, akhirnya kami tiba di kota Mamasa. Suara lolongan anjing kurus menyambut kehadiran kami. Hiruk pikuk (meski tidak terlalu pikuk, karena menjelang petang) penduduk kota Mamasa mulai terlihat beranjak dari aktivitas mereka masing-masing. Pasar tradisional yang sempat kami lintasi pun mulai terlihat sepi. Tersisa beberapa pedagang buah (kebetulan lagi musim duren, walau di Mamasa sebenarnya tidak banyak duren) yang masih menjajakan dagangannya. Suasana perut keroncongan mengantarkan kami segera menuju sebuah hotel terkemuka di kota Mamasa (sebenarnya bukan juga hotel, sekelas losmen tapi diberi label hotel, biar terkesan keren kali').

Seorang kawan sempat protes sesampainya di kamar, kok tidak ada ACnya ya? Hehehee..., gimana mau ada AC, suhu kamar saja di bawah 20 derajat celsius kok. Menjelang azan magrib, kami deal mendahulukan shalat apa makan? Belum selesai kalimat di mulut mengucapkan itu, mereka serentak menyahut MAKAN!!!. Ha..ha...ha..., artinya, hunting pertama adalah mencari rumah makan yang di depannya terpajang beberapa stiker atau sekedar poster bertuliskan huruf arab atau sejenisnya. Padahal, dalam pikiran ini terbesit gagasan kalau kita menuju mesjid dijamin dekat-dekat sana ada warung atau sejenisnya yang jual makanan dimaksud. Pilihan menu akhirnya terputuskan ke mie instant plus telor rebus dan kopi plus pisang goreng. Ya cukuplah sebagai makanan pengganjal sebelum shalat.

Keesokan subuh, kami menyempatkan ke permandian air panas sekitar penginapan. Rasa belerang begitu menyengat di hidung. Tergoda oleh cerita yang sedikit berbau mistis terkait kemunculan pertama kali air tersebut, kami pun menghabiskan waktu sekitar dua jam lebih di kolam dimaksud sambil menikmati nikmatnya suguhan kopi asli Mamasa didampingi goreng pisang rasa keju campur susu kental manis (kata pelayannya, susu cap nona). Menjelang pukul 09.27, dalam suasana kota Mamasa yang masih kelihatan beberapa warga asyik membungkus diri dalam sarung khas Mamasa yang warnanya sangat cerah cenderung meriah di depan rumah masing-masing, kami pun menuju ruang pola kantor bupati. Oia, ada sedikit cerita menarik terkait kebiasaan warga yang masih bermalas-malasan pada jam produktif seperti ini. Seorang Faskom (fasilitator komunitas) pernah melakukan proses refleksi penyadaran potensi kaitanya dengan kondisi ketertinggalan yang dialami warga di sana. Simpulannya luar biasa menurut saya, sang Faskom berkesimpulan; warga di sini tertinggal dan cenderung miskin karena diakibatkan oleh pengaruh 'iklim' dingin jadi bukan karena malas..., he...he...he..., sebuah proses justifikasi yang sangat cerdas (manusia menyalahkan alam). Pesan saya, hati-hati berkesimpulan. Celakanya, tidak seorang warga pun kala itu yang tidak setuju dengan simpulan itu..., ha...ha...ha...

Di ruang pola kantor bupati, bersama pak Sekda Mamasa, kepala badan PMD kabupaten, kepala BPMD Provinsi, saya didaulat duduk di depan siap-siap mempresentasikan materi sosialisasi program 2011 dan monev pelaksanaan program selama 2010. Acara berlangsung semangat 'hampir' sesemangat di Polman kemarin. Setelah acara usai, kami berinisiatif bersama kawan-kawan Faskom Mamasa melanjutkan diskusi dan sharing pengalaman lapangan di sebuah rumah makan sambil menikmati menu makan siang di kota Mamasa. Tetap dalam suasana sms dan memantau perkembangan kesehatan ibu tercinta melalui bapak dan adik di Makassar, tukar pengalaman dan pikiran antar pelaku terus berlanjut sampai menjelang ashar.

Sekitar menjelang ashar kami meninggalkan kota Mamasa dalam suasana ceria meski perasaan ini terus teringat sang Ibu tercinta yang lagi berjuang melawan sakitnya. Sesampainya di kota Polewali, kami sepakat melanjutkan perjalanan ke kota Majene setelah makan dan melaksanakan shalat magrib dan isya. Tersepakati untuk menginap semalam di kota Majene sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke kota Mamuju. Perjalanan meninggalkan kota Polewali sudah mulai terasa lelah dan kantuk mengusik seluruh tubuh dan mata ini. Saya memutuskan menyetir sendiri mobil agar bisa menahan kantuk namun mata memang sudah tidak bisa ditoleransi. Sementara rombongan mobil satunya lagi sudah meninggalkan kami jauh di depan sana, kemungkinan sudah mendekati kota Majene. Saya bersama asisten akhirnya memutuskan nginap saja di salah satu hotel di kota Wonomulyo. Sebelum tertidur pulas saya sempat menelepon ke HP Bapak menanyakan informasi terkini terkait kondisi ibu. Bapak memastikan, beliau masih baik-baik saja. Maka, tertidurlah saya dalam suasana lelah yang sangat mendalam.
Sekitar pukul 03 dinihari telepon berbunyi, dalam kondisi kantuk saya berupaya meraih HP dan mencoba melihat siapa yang menelopon. Tertera dengan samar-samar 'BapakMoeda' (begitu nama yang saya save sewaktu pertama kali menyimpan nomor handphone Bapak).

Dikejauhan sana, bapak menginformasikan kalau ibu tidak sanggup lagi menahan rasa sakitnya. Serta merta saya mengusulkan agar beliau segera dibawa ke RS. Tanpa basa-basi, saya bangunkan sang asisten dan minta dia melanjutkan perjalanan ke Mamuju besok pagi dengan mobil umum saja. Dalam kondisi seperti ini, pekerjaan tidak berlaku, keluarga harus lebih prioritas. Sebelum adzan subuh berkumandang, saya segera meluncur ke Makassar berdua dengan 'My Sweet Xexi Sporty' (Xenia Xi Sporty, red.). Hanya diselingi mampir shalat subuh di Manding, saya melanjutkan perjalanan dalam alunan nasyid dan tiba sebelum shalat dhuhur di rumah orang tua. Seusai shalat dhuhur, kami inisiatif membawa ibu ke stroke center, asumsinya jangan-jangan ibu mengalami tensi yang hiper. Langsung ke UGD, perjuangan mulai di tempat ini.

Waktu itu kami sepakat, ibu sebaiknya rawat inap di RS itu saja agar bisa langsung ditangani secara medis apabila terjadi sesuatu. Namun, kata juru rawat, semua kamar penuh. Setelah negosiasi beberapa lama ibu akhirnya diperiksa dan diberi infus. Atas instruksi perawat jaga salah seoarang adik mencoba mencari kamar kosong sesuai saran sang petugas medis. Saya mulai bertanya-tanya dalam hati, kok harus keluarga pasien yang keliling mencari kamar kosong? Saya pun bertanya langsung, jawabnya memang begitu pak prosedurnya kalau pakai Jamkesmas. Loh saya kan tadi daftar 'umum'? "Tidak pak, sudah dialihkan ke Jamkesmas oleh bapak yang satu itu" kata petugas loket. Rupanya, adik ditelepon oleh salah seorang kenalan yang paham mekanisme rawat inap menyarankan kalau kamarnya di kelas tiga, pakai fasilitas Jamkesmas saja. Okelah, kita di sana saja sementara menunggu kamar VIP yang kosong. Akhirnya, mobil ambulance 'butut' (karena jaraknya memang dekat, hanya sekitar 600 km) mengantar ibu bersama dua pasien lainnya ke kamar dimaksud.

Secara orang baru pertama kali masuk ke RS itu, saya sempat kebingungan, ibu tadi di bawa kemana ya? Apalagi tidak sempat bertanya 'judul' kamarnya. Belum lagi pak Satpam jaga yang tidak mengizinkan mobil masuk sementara tampak di depan mata sedemikian banyaknya mobil umum di dalam areal RS. Setelah nego ala orang baru, pak Satpam akhirnya mengizinkan kami masuk. Berkeliling seputaran jalan RS, tampak di sana-sini suasana lokasi yang dikelilingi penghuni saudara-saudara kita yang sakit jiwa. Si Kakak dan si Adek yang sejak tadi ikut di mobil kebingungan melihat orang-orang tersebut. “Yaya, kenapa itu olang?” Bundanyapun menjawab sekenanya: “Mereka lagi main-main nak.”

Setelah sempat tersesat dua kali, akhirnya gedung di maksud ketemu juga. Dari penampakan gedung, penataan dan 'view'nya lumayan bagus. Hasil bincang-bincang dengan salah seorang petugas jaga, ini dulu memang diperuntukkan sebagai ruang penyakit dalam sebelum akhirnya RS tersebut dipindah ke kawasan perintis dekat kampus Unhas. Memasuki lorong kamar inap, hawa pengap dan bau khas rumah sakit (benar-benar sakit bukan 'sehat') mulai tercium. Saya mulai kepikiran, wah ini akan menambah sakit ibu secara psikologis. Pas masuk kamar, tampak ibu sudah terbaring dengan infusnya di sudut ruang dekat jendela.

Awalnya, miris sekali melihat pemandangan kamar tersebut. Pintu kamar saja, gagangnya copot, pintu kamar mandi hanya terikat seutas tali (saya yakin ini inisiatif keluarga pasien sebelumnya) dengan grendel bagian dalam yang copot dan diganti sepotong belahan bambu entah dari mana. Begitu pula pintu bagian belakang, semua gagangnya tak karuan. Cat tembok usang dengan lumut yang mulai tumbuh akibat rembesan kamar mandi, daun jendela yang jorok nyaris tidak pernah dibersihkan. Pemandangan sekitar luar jendela, benar-benar kurang menyehatkan. Ingin rasanya membawa peralatan tukang lengkap dengan gagang pintu dan alat bersih-bersih dari rumah lalu memperbaiki sendiri dan membersihkan daun pintu dan sudut-sudut ruangan yang kotor.

Astagfirullah..., pikiran saya sederhana menyikapi itu, namanya juga GRATIS. Hal yang membuat saya tertawa sendiri dalam hati, karena baru saja kami menuntaskan laporan hasil evaluasi kebijakan terkait program kesehatan dan pendidikan gratis (kebetulan saya menjadi salah satu anggota tim evaluasi dari tujuh orang yang di SK resmi oleh pak Gubernur), eh malah saya yang mengalami langsung di lapangan. Ya itung-itung researching/learning by doing lah sebelum penelitian lanjutan terkait implementasi di lapangan. Setidaknya ini bisa menjadi data awal. He..he...he...,
Melihat itu, saya langsung inisiatif mencari sendiri kamar di ruang VIP setidaknya kelas I yang lebih 'sehat'. Sampai di sana, semua kamar penuh kecuali ada satu kamar kelas II namun WC nya mampet. Saya lalu beranjak ke sebuah gedung mewah yang di dalamnya bersih walau masih agak sepi. Rupanya, inilah yang dimaksud pusat stroke. Semua tertata apik dan sangat bersih. Di sana-sini tampak kesan kalau ini bukan rumah sakit melainkan rumah sehat. Bagian belakang gedung itu, ada sebuah mushallah yang sangat bersih untuk ukuran sebuah fasilitas umum. Saya mencoba bertanya, rupanya itu diperuntukkan khusus bagi penderita stroke. Sementara, penyakit ibu menurut hasil diagnosa sementara dokter dan hasil lab yang kami bawa, bukan termasuk dalam golongan penyakit itu. Saya pun kembali ke kamar dan menyampaikan langsung ke bapak, ibu, dan salah seorang adik terkait informasi yang saya berhasil dapatkan dari 'mapping' seputaran rumah sakit.

Kesepakatannya, untuk sementara biar ibu di rawat di situ saja sambil berusaha dan menunggu perkembangan hasil diagnosa dokter yang memang kita percayakan menangani penyakit ibu. Kebetulan sekali, dokter dimaksud ketemu pertama kali di poliklinik, lalu ke tempat prakteknya kemudian untuk lebih mendekatkan pelayanan kami inisiatif membawa ibu langsung ke RS tempat sang dokter bekerja.

Entah sakit apa yang diderita oleh ibu kami tercinta, terkadang bila rasa sakit itu datang, beliau tidak sanggup menahan rasa itu. Kala rasa sakit itu hadir, kami secara bergantian berusaha melaporkan dan memanggil petugas jaga bahkan beberapa kali saya menemui dan meminta bantuan dokter jaga di ruang UGD yang jaraknya lumayan jauh dari kamar ibu. Sakingnya seringnya kami memanggil, dalam sehari dua hari itu, petugas jaga dengan sabar meladeni sebatas kemampuan mereka, namun rasa itu tidak juga hilang. Lama kelamaan, karena mereka tentu saja sudah saling memberi info akhirnya beberapa suster kelihatan sudah kehabisan kesabaran. Dalam suasana setengah panik karena awam dengan situasi dan kondisi medis seperti itu terkadang kami hanya bisa merasa iba dan tidak sanggup berbuat lebih melihat ibu menahan rasa sakit yang datangnya sering tak terduga.

Hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnosa sementara dokter (sebanyak tiga kali; di RS dua kali dan di tempat prkateknya satu kali) semua menunjukkan hasil yang tidak mengindikasikan rasa sakit yang dialami ibu. Hasil foto rontgen, gula darah normal, tensi memang cenderung tinggi, dan beberapa hasil pemeriksaan darah, air liur, dan urin tidak satu pun yang memungkinkan secara medis (kata dokter) ibu mengalami rasa sakit yang tak terhingga. Bila rasa itu datang, ibu kami sangat gelisah dan tidak tahu rasa sakitnya pada bagian mana. Saya tanya ke Bapak, apakah selama ini ibu pernah merasakan sakit seperti itu, beliau bilang tidak pernah. Kalau pun sakit, ibu termasuk orang yang tahan menahan rasa sakit selama ini. Kalau meronta seperti ini, itu artinya memang benar-benar sakit. Saking anehnya, salah seorang keluarga dan pasien sebelah sempat mengusulkan memanggilkan ‘orang pintar’. Hmmm…, makin tidak jelas. Kalau orang pintarnya tidak terlalu masalah, tapi jadi tidak make sense buat penulis ketika dia bilang, orang pintar itu bilang, ada seorang tetangga dari suku X yang merasa merasa disakiti oleh ibu kami sehingg dia ‘mengguna-gunai’. Okelah, barangkali memang ada yang merasa tersakiti, tapi kata ibu rasa-rasanya tidak pernah ada orang yang saya sakiti selama ini, kalaupun dia merasa tersakiti maka saya mohon maaf dengan tulus kepadanya.

Akhirnya, kami pun sempat merasa senang ketika sang dokter akhirnya mengeluarkan hasil diagnosa sementara setelah melalui beberapa pemeriksaan lanjutan dan disertai pemberian beberapa obat-obatan penghilang rasa sakit dan segepok obat-obatan lainnya (obat paru, obat penurun tensi, penahan rasa sakit, dan beberapa jenis obat entah apa lagi namanya, luar biasa!!!). Sang dokter bilang, ibu mengalami gejala ‘putus obat’, itu setelah diiformasikan bahwa sebelumnya ibu pernah mengkonsumsi ekstrak buah naga selama setahun ini. Ramuan tersebut memang ditengarai menghilangkan rasa sakit dan menambah nafsu makan. Terbukti, ketika rasa keram muncul, ibu langsung mengkonsumsi ramuan tersebut dan rasa keramnya berangsur hilang. Kondisi ketergantungan itu pada akhirnya dihentikan setelah ada info bahwa ramuan tersebut berefek samping. Sejak itulah, rasa sakit terasa amat sangat ketika tidak mengkonsumsi ramuan dimaksud menurut sang dokter. Okelah, kalau itu diagnosanya trus apa saran antisipatifnya, karena kan jelas obat sudah dihentikan. Maka, bertaburanlah berbagai jenis obat-obatan yang harus dikonsumsi. Solusi demi solusi kemudian tidak berhasil menenangkan ibu, memasuki hari ke dua kami memutuskan (keluar paksa) memindahkan ibu ke salah satu RS swasta di kawasan Hertasning.

Suasana kontras terasa sangat dalam sesampainya kami di RS dimaksud. Rencana awal ke stroke center berakhir di bangsal pelayanan gratis menyisakan banyak sekali pengalaman berharga buat penulis secara pribadi. Di tempat baru, kami menempati ruang VIP dengan pelayanan prima dan tentu saja dengan implikasi finansial yang juga wah. Kata beberapa tetangga yang tidak paham masalah, kenapa tidak sejak awal di bawa ke sini? Sakit ibu tetap datang seperti biasa, namun kali ini ditangani dengan sangat profesioanal oleh beberapa tim dokter ahli (spesialis: jantung, paru, internis, dan psikolog). Pelayanan prima juga terasa sekali dilakukan dengan nyaris sempurna oleh beberapa tim perawat walau tidak semuanya memiliki kecerdasan afektif yang baik. Ada juga yang masih mengedepankan aspek kognitif dan psikomotorik semata. Kondisi tersebut langsung mengingatkan saya pada konsep Foucault tentang eksploitasi tubuh yang dilakukan oleh RS Jiwa. Hehehee…,
Selebihnya,
Salam to be continued…,